Rabu, 04 Maret 2009

UNDANGAN MENULIS PUISI: MENYIKAPI PEMILU MELALUI PUISI

Pemilu sebentar lagi. Inilah perhelatan akbar yang menyita perhatian semua orang. Di televisi melalui iklan yang berhamburan klaim keberhasilan partai, di koran berupa berita dan (lagi-lagi) iklan. Saat kita keluar rumah, perhatian kita terbetot oleh rimba spanduk yang merayu dan mendayu.
Bukan bermaksud menambah-nambahi (atau sok peduli!), kita (sebagai penyair maupun bukan) perlu pula ikut rembugan Pemilu. Tak berwacana, melainkan sekedar menulis puisi bertemakan Pemilu. Tentu bukan ajang berkampanye (bahkan jika Anda seoramg caleg), tetapi ruang kritik atas Pemilu, yang oleh sebuah organisasi buruh (Pemilu 2009) “bukan Pemilu rakyat”.
LIBAT – Lingkar Seni-Budaya Rakyat, jejaring komunitas seni pro-rakyat – mengundang Anda sekalian yang kebetulan membaca undangan sederhana ini, untuk menulis Puisi Pemilu. Tidak ada syarat bermakna, kecuali satu-dua biji tulisan berbentuk puisi. Puisi-puisi Anda kami tunggu hingga 15 Maret 2009 ini dan dikirim via e-mail: libat@ymail.com.
Puisi terkumpul akan ditampilkan di web LIBAT dan direncanakan diterbitkan dalam bentuk antologi bersama.
Terima kasih atas perhatian dan partisipasi Anda.

Koordinator LIBAT


Joko Sumantri
085647517296

Senin, 16 Februari 2009

Politik: JIKA ARTIS BERPOLITIK

Joko Sumantri, Anggota PRP Solo

Fenomena artis, selebriti atau penghibur dalam panggung politik bukanlah khas Indonesia. Negara adidaya AS mengenal gubernur sekaligus aktor Arnold Schwarzenegger dan bahkan Ronald Reagan, bintang film yang tak terlalu bersinar tapi malah menjadi presiden paling terkenal dalam sejarah AS. Politisi artis juga dikenal di negara tetangga Filipina dan di sejumlah negera di Amerika Latin.
Yang membedakannya adalah kehadiran politisi artis di negeri ini sudah terlalu banyak atau mengalami inflasi. Nyaris setiap parpol “memiliki” artis-artis jagoannya, entah sekedar pendukung dalam kampanye, calon legislatif sampai calon kepala daerah. Dan menariknya, menjelang Pemilu 2009, para artis ini kian memenuhi daftar kontestasi politik dari level daerah hingga pusat.
Pemicu fenomena artis berpolitik adalah kemenangan sensasional Dede Yusuf sebagai wakil gubernur Jawa Barat dalam pilkada beberapa waktu lalu, juga Rano Karno sebagai wakil walikota Tangerang. Beberapa nama akan bertarung, seperti aktor Anwar Fuady, presenter Helmy Yahya sampai penyanyi dangdut Syaiful Jamil di sebuah pilkada di Jabar.
Sebelumnya, peta politik Indonesia sebenarnya sudah ramai oleh keterlibatan sejumlah selebriti, seperti Nurul Arifin (Golkar), Marissa Haque (cawagub Banten), Rieke Dyah Pitaloka (PKB kini ke PDI-P), Wanda Hamidah (PAN), anggota DPR dari Partai Demokrat, Adjie Massaid, Komar dan Angelina Sondakh (dikabarkan akan dicalonkan dalam pilkada Magelang).
Jumlah riil-nya masih banyak, tersebar ke sejumlah partai besar maupun kecil. Menjelang pelaksanaan pemilu, dipastikan sejumlah artis bakal kian berbondong-bondong memilih “lapak”-nya sendiri-sendiri. Beberapa nama yang kini digadang-gadang adalah Eko Patrio, Adrian Maulana, Tessa Kaunang, Maya Rumantir, Primus Yustisio (Cawali Subang), dll.
Keterlibatan para penghibur dalam pentas politik sah-sah saja. Terutama jika melihat hak dasar seorang artis sekaligus warga negara, sangat sah untuk tak sekedar memilih. Namun apabila terlalu banyak artis yang berpolitik, fenomena yang berubah menjadi kecenderungan ini patut dipertanyakan. Terutama apa dampaknya bagi atmosfer politik negeri ini.
Dengan segenap pesona yang dimiliki, artis memiliki keunggulan dibanding kompetitor biasa. Seorang artis kerap tampil di televisi dan selalu tampil baik dan menarik. Artis di televisi nyaris tanpa cela, cantik atau ganteng dan baik hati. Mereka tampil tak menarik hanya ketika disuruh mengomentari hal-hal serius, dimana kerupawanan wajah tampil sebagai pelengkap.
Di tengah ketidakpopuleran calon-calon pemimpin konvensional, bahkan status-quo yang identik KKN, publik sangat mudah mengalihkan dukungan ke calon-calon yang track-record politiknya tak jelas, namun cukup dikenal. Peluang inilah yang sangat menguntungkan bagi artis dan memuluskan jalan ke kursi politik tertentu.
Persoalannya, dan hal ini juga telah kerap dipersoalnya, bagaimana mengenai kapabilitas dan kualitas seorang artis itu sendiri, terutama setelah terpilih? Jangan-jangan, keterlibatan artis “lagi-lagi” sebagai pelengkap penggembira, pemanis pemandangan atau apapun namanya. Atau hal yang lebih mengerikan, para artis sebagai vote getter bermakna saat prosesi pemilihan saja, dan sesudahnya menjadi pajangan meski mendapat posisi prestisius.
Lebih-lebih, beberapa nama artis yang kini duduk di Senayan tak jelas kontribusinya, dan malah lebih sering bolak-balik tampil di infotainmen ketimbang dimintai pendapat saat segmen berita. Misalnya Adjie Massaid yang lebih disorot berita perceraiannya dengan penyanyi Reza, bahkan ketika diwawancarai media di kompleks Senayan.

Saling Memanfaatkan
Sorotan bahwa partai politik memanfaatkan popularitas artis pun mengemuka. Artis-artis itu mesin pendulang suara yang efektif yang tak memerlukan kampanye habis-habisan. Dan apabila tetap perlu mengadakan kampanye massif, toh para artis memiliki kemampuan logistik yang memadai, meski tak sekuat pengusaha.
Partai politik berkepentingan dengan jumlah suara dan mulai tak terlalu peduli siapa yang akan terpilih. Sepanjang para artis itu teruji mengumpulkan suara yang besar, parpol tak bakalan segan mendudukkan mereka hingga ke posisi tertinggi yang dimungkinkan.
Dalam hal ini, para artis itu terkesan menjadi korban atau dikorbankan. Hanya saja ketika ternyata sangat banyak dan mungkin terlalu banyak artis yang bersedia dikorbankan, kesan pada awal paragraf ini patut diuji kembali.
Sejumlah artis yang tampil ke politik tidak berada dalam peak performance, bahkan beberapa sudah pensiun. Rano Karno atau Dede Yusuf sudah jarang nongol di sinetron dan hanya sesekali sebagi bintang iklan. Beberapa nama yang tersebut dalam tulisan ini mulai mundur teratur sebagai selebriti dan hanya dikenal kembali setelah mempunyai kasus (cerai, kawin, selingkuh, rebutan anak, dsb) dan disorot habis-habisan oleh infotainmen.
Mereka tentu menyadari mulai tak terlalu “laku” lagi dalam jagad hiburan dan melihat bahwa politik adalah alternatif lain mempertahankan peri kehidupan atau life style yang setara artis. Ketika pintu kesempatan ini dibuka lebar-lebar oleh semua parpol, sedikit yang berani membuang peluang semacam ini.
Toh, politik tak menghalangi apalagi menghancurkan keartisan mereka. Apabila fase berpolitik usai dan sebagian mampu tampil lagi sebagai selebriti sesudahnya, program-program televisi tampaknya tak terganggu dengan track record artis mantan politisi.
Meskipun kapabilitas artis pantas dipertanyakan, mereka sama sekali tak selugu yang dikira, sehingga seakan-akan berpolitik tanpa reward atau dimanfaatkan tanpa benefit sedikit pun.

Benalu?
Maka, daripada mempersoalkan siapa memanfaatkan siapa, akan lebih berfaidah jika kita mempertanyakan niat dan tujuan artis itu sendiri dalam berpolitik Apabila semata-mata mencari penghidupan baru, kehadiran mereka dalam politik bukan saja pemanis panorama rapat atau sidang, melainkan benalu. Dan apabila politisi karbitan jenis ini kian banyak, bisa dibayangkan seperti apa kualitas parlemen kita.
Kehadiran artis di gedung pemerintahan, DPR atau DPRD, tidak sama lagi (katakanlah) ketika mereka mendampingi komentator sepakbola misalnya. Menjadi penguasa atau wakil rakyat sangat dituntut kemampuannya dalam mengartikulasikan aspirasi publik, kapabilitas penyampaian pendapat/debat sekaligus kualitas menyodorkan solusi-solusi cerdas. Berada di luar indikator ini siapapun (tak peduli artis ataupun bukan) berarti menjelma benalu politik.
Idealnya, seorang artis sekalipun ketika menapaki jalur politik harus melalui gemblengan parpol lebih dulu yang cukup lama dan intens (minimal sebagai anggota aktif). Artis-artis ini pun memiliki visi yang sama dengan parpol-parpol pilihannya dan tak asal memilih parpol. Dengan profil semacam ini (misalnya alm. Sophan Sopiaan di PDI-P atau Wanda Hamidah di PAN), kualitas politisi artis lebih terjamin daripada yang asal comot menjelang Pemilu.

Perburuhan: PHK MENGANCAM SEMUA

Oleh: Joko Sumantri, aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Surakarta


Hari demi hari berlalu, ancaman PHK bukan lagi hanya isu. Berita-beritanya telah menyebar. PHK di sana-sini telah dijatuhkan. Di Boyolali, 2 ribuan pekerja telah mengalaminya (Joglolsemar, 24/11). Perkiraan-perkiraan dalam setahun ke depan, mengisyaratkan situasi muram yang mungkin lebih mengkhawatirkan dari yang kita kira.
Perkembangan saat ini me-negasi opini-opini positif para ekonom dan pejabat pada awal krisis finansial global (kira-kira satu sampai dua bulan lalu). Saat itu banyak dari mereka yang mengklaim fundamental negara ini cukup kuat dalam menghadapi krisis global. Tidak adanya perbankan lokal yang tersangkut jejaring finansial AS yang kusut menguatkan anggapan ini.
Nyatanya, globalisasi ekonomi saat ini menjadikan tak ada satu negara pun yang kebal dari krisis manakala negara lain mengalaminya. Pada kondisi sekarang, krisis diperparah oleh keadaan bahwa krisis terjadi di jantung kapitalisme dunia.
Pertumbuhan ekonomi AS selama ini ditunjang oleh tingkat konsumsi. Tidak heran jika segala konsumsi berbagai kebutuhan, AS selalu nomer satu. Dari tekstil, elektronik, mobil hingga energi, konsumsi total warga AS hanya bisa ditandingi oleh konsumsi total warga dunia non-AS.
Maka ketika AS mengalami krisis yang bermula dari kredit perumahan ini, dimana tingkat konsumsi warganya mendadak melorot tajam, negara manapun segera mengalami kesulitan serupa. Belakangan, kecenderungan ini merambah ke Indonesia. Banyak perusahaan kesulitan mempertahankan order tersebab buyer di Amerika menghentikan pembeliaan.
PHK massal maupun perumahan karyawan hanyalah fenomena ikutan yang mau tak mau bakal terjadi, terutama jika tidak ada campur tangan pemerintah sama sekali.
Pemerintah memang bereaksi dengan mengeluarkan SKB 4 Menteri yang membatasi kenaikan upah pekerja kurang dari pertumbuhan ekonomi nasional (6%). Alasannya sederhana, pembatasan kenaikan upah meringankan beban pengusaha sehingga tak perlu mem-PHK karyawannya. Namun, dalam jangka panjang kita akan melihat bahwa kebijakan ini justru kontraproduktif dan mengarahkan negara ini pada stagnasi ekonomi.

Kepentingan Bersama
SKB 4 Menteri tidak akan banyak membantu sebab persoalan krisis tidak disebabkan oleh besaran upah buruh. Apalagi upah buruh di negeri ini sama sekali tidak besar. Sehingga kebijakan pemerintah tersebut seakan menimpakan hukuman pada buruh, padahal kesalahan atau kekeliruan dilakukan oleh kelompok pemodal, spekulan dan dalam beberapa hal juga pengusaha.
Proses PHK akan terus berjalan, terutama karena pabrik-pabrik kita banyak yang berorientasi ekspor. Upaya memperkuat pasar dalam negeri, seperti yang ditekadkan oleh Presiden SBY, berbenturan daya beli masyarakat yang rendah dan penguasaan pasar dalam negeri oleh produk-produk asing. Dan rendahnya daya beli masyarakat disebabkan pengaturan upah pekerja murah dan nilai tukar petani yang rendah!
PHK massal kian membenamkan negeri ini dalam kubangan persoalan. Pekerja ter-PHK bukan hanya berdaya beli rendah, melainkan nol atau nihil sama sekali. Tanpa penghasilan, seseorang tidak mungkin berkonsumsi atau konsumsinya terbatas pada tindak bertahan hidup yang diperoleh dari belas kasih kerabat.
Tingkat pengangguran tinggi, dengan demikian makin mengepras daya beli masyarakat pada tingkat sangat rendah. Indeks konsumai segera menurun tajam dan menghantam tingkat produksi. Ketika pasar dalam negeri pun tak bisa diandalkan, perusahaan-perusahaan bakal kian berlomba-lomba mem-PHK karyawan untuk menyelamatkan kondisi keuangannya masing-masing.
Banyak hal buruk ketika PHK massal dibiarkan. Sebagian pekerja akan beralih kerja, terutama membuka warung semacam PKL yang memacetkan jalan-jalan, menjelma pengamen bahkan pengemis dan gelandangan. Kota-kota yang selama ini sudah kewalahan menangani persoalan-persoalan tersebut, bakal tambah kerepotan dan mungkin menyerah menghadapi membludaknya problem-problem urban ini.
Sebagian kecil pekerja ter-PHK terpaksa terlibat dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat dan menambah beban kepolisian.

Nasionalisasi?
Adakah jalan keluar dari ancaman PHK massal di masa yang tidak lama lagi dari sekarang?
Upaya pemerintah memperkuat pasar dalam negeri sudah tepat, namun harus diikuti serangkaian kebijakan penunjang. Pasar dalam negeri terutama harus dilindungi dari serbuan produk asing sehingga produk nasional mendapat keleluasaan gerak.
Belanja pemerintah harus diarahkan untuk produk dalam negeri, selain harus dihemat dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan semu (seperti pengadaan inventaris kantor tiap ganti anggaran, pembelian mobil mewah dan pemenuhan fasilitas berlebihan lainnya bagi pejabat).
Selain itu, daya beli masyarakat harus dijaga agar mampu menyerap produk dalam negeri. Sehingga justru harus disiapkan skema peningkatan upah buruh dan nilai tukar petani yang signifikan, meskipun tetap harus terkendali.
Menghadapi PHK, nasionalisasi pabrik-pabrik yang terancam tutup perlu dipertimbangkan. Selama ini wacana nasionalisasi hanya berhembus pada BUMN yang terprivatisasi atau bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang cenderung padat modal.
Pengambilalihan pabrik yang ditinggal investor justru jauh lebih srategis. Biaya yang dikeluarkan cenderung tidak besar (dibanding buy back saham ataupun penyelamatan bank yang bisa bernilai ratusan trilyun). Upaya ini akan mempertahankan produksi disamping mencegah PHK massal.
Toh, nasionalisasi korporasi bukan hal yang tabu lagi. Biangnya kapitalisme, Amerika Serikat, sudah menyuntikkan dana ratusan milyar dollar kepada sejumlah perusahaan. Yang berarti pemerintah AS saat ini memiliki sejumlah perusahaan yang dulunya milik swasta (misalnya pemerintah AS sekarang adalah operator perusahaan asuransi terbesar di dunia, AIG).
Jika dimungkinkan, pemerintah bahkan harus mulai memperkuat industri nasional dan mengambil kebijakan substitusi impor. Pabrik-pabrik baru perlu dibangun guna memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang selama ini dicukupi produk impor yang menyabot dana masyarakat berpindah ke luar negeri secara besar-besaran.
Menghadapi problem-problem luar biasa di masa datang, kiranya memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa.

Politik: ORANG MISKIN DILARANG “NYALEG”!

Joko Sumantri, Anggota PRP Komite Kota Solo


Evo Morales sebelum akhirnya terpilih sebagai presiden Bolivia adalah bujangan bersahaja tanpa rumah sendiri. Lelaki yang kerap memimpin demonstrasi jalanan ini tetap berpenampilan sederhana setelah menjadi presiden. Morales kerap memakai baju tradisional Bolivia dan tidak memperlihatkan diri sebagai pejabat tinggi yang necis atau berfasilitas supermewah laiknya seorang presiden.
Di belahan dunia lain, ada Lech Walesa mantan presiden Polandia pasca rejim komunis. Dia seorang buruh tukang las di sebuah pelabuhan. Karena aktivitasnya bertahun-tahun sebagai pemimpin buruh, Lech Walesa didapuk sebagai presiden. Hebatnya, setelah selesai menjabat jabatan tertinggi itu, Lech Walesa kembali ke pekerjaan lamanya sebagai buruh pelabuhan.
Evo Morales dan Lech Walesa beruntung hidup di dua negara tadi. Seandainya mereka tinggal dan hidup di Indonesia, mereka akan kesulitan menciptakan sejarah. Sebab “berkarir” dalam bidang politik di negeri ini tidak cukup dengan keyakinan, kerja keras maupun kesungguhan. Berpolitik di negeri ini memerlukan modal lain, yang akan sangat sulit dipenuhi oleh buruh berpenghasilan rendah atau bujangan tanpa rumah.
Beberapa hari kemarin, koran ini menyuguhkan kedegilan politik parpol peserta Pemilu, entah lama ataupun baru. Secara terbuka sejumlah parpol mematok “harga” bagi orang yang ingin menjadi caleg. Melalui kedok biaya pendaftaran hingga dana kampanye, parpol-parpol mensyaratkan setoran bacaleg mulai ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Rasanya sulit menalar “keterbukaan” ini. Sekedar hasrat menjadi anggota legislatif tingkat dua (kota/kabupaten) saja harganya sedemikian tinggi.
Kenyataan ini menjungkirbalikkan “aksioma” demokrasi mendudukkan setiap orang dalam posisi yang sama tanpa melihat SARA, jender maupun tingkat ekonomi. Partisipasi politik secara kasat mata memiliki saringan. Celakanya saringan ini bukan untuk memfilter calon-calon pemimpin unggul, melainkan saringan dengan standar kepemilikan modal berpolitik.
Jika “status-quo” ini tidak pernah diutak-atik, maka kita tidak akan pernah berkesempatan memiliki pemimpin bervisi kerakyatan seperti Evo Morales atau Lech Walesa yang sederhana. Terjunnya seseorang berpolitik tidak lagi dilandasi semangat membawa perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat, melainkan murni bisnis. Berpolitik seperti menanam investasi dimana suatu ketika modal harus kembali (break event point).

Hak si Miskin
Tabiat parpol di level daerah yang mematok harga pencalegan (yang sangat mungkin teridentifikasi pula di level lebih tinggi dan pasti jauh lebih besar nilainya) mencerminkan kesalahan sistemik politik kita. Alasan berpolitik membutuhkan modal (misalnya untuk kampanye) kurang berterima. Apabila politik Amerika yang liberal menjadi perbandingan, tetap saja calon-calon pemimpin di sana tidak mengandalkan dana pribadi, melainkan sumbangan dari banyak pihak.
Imbas pertama-tama dari fenomena ini adalah tertutup rapatnya pintu politik dari jangkauan si miskin, seperti kaum buruh, tani maupun kaum miskin lainnya. Padahal apabila mencerminkan tingkat keterwakilan yang murni, maka kaum miskin ini mestinya mampu mendudukkan wakilnya secara mayoritas di DPR dari level pusat hingga daerah. Alasannya sederhana: jumlah orang miskin jauh lebih besar daripada yang kaya/mampu.
Ketiadaan wakil kaum miskin dalam berpolitik menyebabkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pernah menguntungkan kelompok miskin seperti yang selama ini berlangsung. Secara permanen, kita akan selalu disuguhi drama penolakan-penolakan spartan kaum miskin terhadap kebijakan yang tidak memihak mereka.
Sebaliknya, politik beraroma uang mengundang para pemodal seperti pengusaha, politisi lama hingga artis untuk maju dan bertarung mewakili partai apapun. Sebab hanya merekalah yang mampu “membeli” tiket untuk bertarung dalam pemilu/pilkada. Begitulah yang kemudian terjadi.
Fenomena ini bukannya tanpa resiko. Ketika mereka yang berpunya ini terpilih sebagai pemimpin, hal utama yang mereka kerjakan dan pikirkan adalah mengembalikan modal yang sudah ditanamkan. Di samping itu, pemimpin dengan profil seperti ini rawan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya sendiri dan meninggalkan aspirasi masyarakat.

Penuh Ujian
Tulisan ini bukannya mengaksiomakan bahwa ketika si miskin menjadi pemimpin lalu otomatis memiliki kepedulian tinggi pada golongan miskin. Banyak kasus (terutama pada saat Pemilu 1999) dimana sejumlah orang yang tidak tergolong mampu ternyata dapat menjadi anggota legislatif. Namun toh, perilaku mereka “sami mawon” atau setidaknya kurang mewakili aspirasi kaum miskin.
Latar belakang ekonomi seseorang memang tidak langsung menjamin kredibiltasnya ketika memimpin. Oleh karenanya, bukan soal seseorang memiliki uang atau tidak yang disortir menjadi pemimpin. Melainkan sebuah skema/sistem yang mampu memberikan kesempatan kepada siapapun untuk maju dan bertarung dalam berpolitik. Yang terjadi kemudian adalah adu visi dan strategi dalam merangkul suara masyarakat.
Ujian semacam ini berlangsung di tubuh tiap-tiap parpol itu sendiri. Parpol bertanggung jawab melahirkan kader-kader sekaligus calon pemimpin yang akan dinilai masyarakat kapabilitasnya. Keberhasilan sebuah parpol, maka, salah satunya ditentukan dari kemampuannya dalam merekrut kader dan membinanya. Parpol berarti mesin pendulang suara sekaligus pencetak calon pemimpin.
Di dalam parpol itu sendiri terdapat dinamika kerja dan kegiatan yang menjamin kemunculan sejumlah kader mumpuni. Parpol tidak sekedar lembaga politik yang hadir dan berwujud manakala pemilu/pilkada. Parpol laiknya gunung berapi yang terlihat diam, tetapi sebenarnya penuh riak, yang manifes ketika meletus.
Dalam mekanisme semacam ini, setiap orang memiliki kesempatan sama untuk berkiprah dalam politik. Orang miskin atau kaya, lelaki atau perempuan berada dalam takaran yang seimbang dan terbuka untuk bersaing memperlihatkan semangat, kesetiaan ideologi, kemampuan dan integritasnya.
Ketika parpol justru mempersilahkan orang luar menjadi caleg, terutama dipilih dari seberapa besar disumbang untuk partai, maka hancurlah skema partai sebagai mesin pencetak kader. Parpol lantas menjelma sebagai lembaga pengusung caleg belaka. Tak ubahnya event organizer atau bahkan makelar politik!

Artikel: Peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2008

Oleh: JOKO SUMANTRI
Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Surakarta dan aktivis Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Solo Raya


Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau Mayday. Di negara-negara maju atau negara berorientasi kiri, Mayday merupakan hari kemenangan buruh, diliburkan dan diperingati besar-besaran. Di Indonesia, Mayday tidak halnya. Mayday belum sampai pada tahap dirayakan sebagai hari kemenangan buruh. Meskipun tetap hari istimewa oleh kaum buruh pasca 1998, 1 Mei tidak diliburkan dan kurang diapresiasi oleh pemimpin politik negeri ini.
1 Mei kian istimewa karena saat inilah gerakan buruh menunjukkan kekuatan sebenarnya. Dipastikan di tiap kota di mana terdapat elemen buruh, mereka bakal turun ke jalan dengan antusias. Melalui momentum ini, buruh menyampaikan tuntutan-tuntutannya.
Sejumlah isu perburuhan utama masih berkisar persoalan upah yang memang jauh dari kata memadai. Di kota/kabupaten se-Jawa Tengah, upah minimum kota/kabupaten hanya Rp. 500-600 ribu per bulan. Ada dua kota yang dianggap menyamai kebutuhan hidup layak (KHL), yakni Solo dan Semarang. Lainnya masih berada di bawah KHL.
Meskipun ada trend UMK yang hendak menyamai KHL, buruh tetap tidak terlalu senang. Sebab “hidup layak” dalam akronim KHL tidak mencerminkan kebutuhan sebenarnya. Ukuran-ukuran yang digunakan terbatas dan kurang mencakup seluruh aspek kebutuhan manusia. Kualitas kebutuhan pun direndahkan supaya murah, plus dengan standar harga yang telah lewat (harga kebutuhan saat ini untuk dasar kenaikan KHL tahun berikutnya).
Isu lain yang tidak kalah hangat adalah buruh kontrak dan outsourcing. Mekanisme ini menjadikan buruh hanya bekerja dalam masa kontrak (bukan karyawan tetap) yang hak-haknya banyak terlucuti. Outsourcing memantapkan proses pelemahan kekuatan buruh dimana perusahaan mengandalkan perusahaan jasa penyedia tenaga kerja dan merasa tidak punya tanggung jawab terhadap buruh yang dipekerjakan.
Gejala ini merupakan bagian dari apa yang diistilahkan Labour Market Flexibility (LMF). Kebijakan ini berharap mampu menyediakan lapangan kerja dimana proses perekrutan tenaga kerja sekaligus pemutusan hubungan kerja (PHK) mudah dilakukan. Namun LMF justru merupakan horor bagi yang telah bekerja, berada dalam ketidaktenangan karena sewaktu-waktu bisa putus kontrak atau dipecat. Di samping mekanisme LMF memberi amunisi bagi pengusaha untuk tidak memenuhi hak-hak normatif buruh.
Sejauh isu-isu ini tidak terselesaikan, buruh akan terus melakukan demonstrasi yang dipusatkan pada peringatan Hari Buruh Sedunia tiap tanggal 1 Mei atau tiap-tiap ada kebijakan yang tidak memihak buruh.

Pilgub Jateng
Peringatan Hari Buruh tahun ini kian istimewa karena Jawa Tengah hendak menyelenggarakan pemilihan gubernur pertama kali pada 22 Juni 2008. Pergerakan buruh di Jawa Tengah tentu tak bakalan lepas dari amatan para cagub dan cawagub yang akan bertarung nantinya.
Suara dari kaum buruh jelas sangat besar dan lumbung suara yang tak bisa diabaikan. Jutaan suara dikantongi oleh buruh dan sangat menentukan perolehan suara dalam Pilgub. Jika dihitung dengan keluarga (istri, saudara dan anak), suara dari kaum buruh kian menggelembung.
Yang disebut buruh tentu bukan hanya mereka yang bekerja di pabrik dan terdaftar secara legal-formal. Sebutkan buruh dilekatkan pada siapapun yang menyediakan tenaga dan ketrampilan kepada pihak lain (pengusaha/pemodal) dan mendapatkan imbalan dari tugas dan pekerjaannya. Kategori ini berarti mencakup buruh pabrikan, PRT, petani penggarap, nelayan kecil, pekerja bangunan, dan sebagainya.
Di negara-negara maju, suara buruh sangat disegani dan memiliki saluran politik tersendiri (partai). Partai-partai buruh ini bahkan kerap berkuasa dan memerintah. Sementara di Indonesia, sudah ada (beberapa) partai buruh namun sangat kecil dan tidak diperhitungkan keberadaannya. Partai buruh yang ada pada dasarnya memang bukan perwujudan dari keinginan buruh, melainkan “jadi-jadian” dari personal yang mengatasnamakan buruh.
Buruh sebagai konsituen politik berada dalam posisi mengambang (floating mass). Tidak ada ikatan politik terhadap parpol tertentu. Keputusan memilih partai atau calon dalam pemilu sebatas keputusan pribadi, like and dislike, atau bahkan menurut “aliranisme politik” buruh secara personal. Keambangan pilihan ini didukung tidak ada partai politik yang secara tegas memiliki keberpihakkan pada kepentingan buruh.
Dalam konteks Pilgub tentu ada nuansa berbeda. Kapasitas pribadi cagub dan cawagub lebih menentukan ketimbang partai politik pengusungnya. Integritas pribadi cagub dan cawagub bakal lebih disorot, dimana track record mereka merupakan ukurannya. Peristiwa kemenangan cagub dan cawagub yang kurang terduga di Jawa Barat dan Sumatera Utara adalah contohnya.
Para cagub dan cawagub mesti bekerja keras meyakinkan buruh untuk memilih salah satu dari mereka. Buruh kenyang pengalaman terhadap janji-janji dalam kampanye, yang kerap diingkari ketimbang dipenuhi. Semanis apapun janji kampanye yang ditawarkan akan disikapi dengan sangat hati-hati.
Kecenderungan utamanya justru bukan pada siapa yang akan dipilih buruh, tetapi apakah para buruh sendiri punya kemauan untuk memilih atau malah menjadi golput. Sebab bagi buruh, proses politik yang ada (dari pilpres sampai pilbup) nyatanya kurang memberi andil bagi perbaikan kesejahteraan mereka. Bahkan janji-janji kampanye yang tak langsung menyentuh kepentingan buruh (pendidikan dan kesehatan gratis) realisasinya tidak ada ketika si kandidat akhirnya terpilih.
Pilgub Jateng, untungnya, yang pertama kali ada sehingga belum ada ukuran memadai menilai masing-masing cagub/cawagub. Namun bukan berarti rayuan mudah disampaikan, mengingat buruh belajar dari pengalaman maupun informasi di daerah lain melalui media massa.

Sikap Cagub

Buruh butuh penjelasan dan sikap para cagub terhadap persoalan-persoalan di seputar mereka dan tidak sekedar lontaran janji-janji normatif yang tidak jelas aplikasinya. Pertama-tama, buruh memerlukan sikap para cagub cagub dalam memandang upah layak bagi buruh maupun isu mengenai buruh kontrak dan outsourcing.
Seandainya seorang gubernur tidak memiliki kewenangan lebih (karena ada UU yang mengaturnya), apa langkah-langkah yang mungkin dapat ditempuh guna mengurangi beban hidup buruh? Sanggupkah, misalnya, gubernur terpilih menyediakan beasiswa bagi anak keluarga buruh yang melanjutkan pendidikan? Atau menjamin pelayanan kesehatan bagi buruh bisa benar-benar murah, bahkan gratis.
Selamat Hari Buruh!

Artikel: Buruh Jateng Melawan Kebijakan Rejim

Oleh: Joko Sumantri
Anggota Serikat Buruh Solo Raya – Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (SBSR-KASBI)


Di balik kenyataan pahit keputusan rejim menaikkan harga BBM, optimisme menyembul bahwa rakyat belum kehilangan semangat juang guna memperjuangkan hak-haknya. Hal ini terlihat dari perlawanan spartan seluruh elemen rakyat menolak kenaikan harga BBM sepanjang bulan Mei hingga awal Juni 2008 ini. Di Jawa Tengah, peta gerakan mendadak hidup, bahkan hingga ke daerah-daerah yang selama ini jarang terdengar ada demo.
Di ibukota Jawa Tengah, Semarang, sejumlah elemen dengan gigih mendatangi tempat-tempat publik, terutama kantor gubernuran, berulang kali, bahkan sempat menimbulkan insiden kecil. Setidaknya ada empat kelompok yang tercatat: Pertama, Front Rakyat Menggugat (GMNI, PMII, KAMMI, sejumlah LSM), Komite Mahasiswa Semarang (KAMAS), Forum BEM dan Front Pembebasan Nasional (FPN) yang mempertemukan kelompok buruh, FSBI-KASBI, GMKI, SMI, dll.
Di Solo yang juga memiliki tradisi perlawanan yang keras terhadap kebijakan yang merugikan rakyat, memunculkan sejumlah kelompok, yakni AMUK Rakyat (LSM Yaphi dan elemen mahasiswa hampir dari semua kampus yang ada di Solo), Aliansi Rakyat Menggugat (kumpulan LSM), Forum BEM dan FPN (SBSR-KASBI, PRP, GMKI, PMKRI, GMNI).
Representasi pergerakan lain di Jateng adalah Purwokerto (dengan ukuran keberadaan kampus negeri). Di kota ini lahir Aliansi Perjuangan Rakyat, terdiri dari Barisan Muda Indonesia, Barisan Muda Penegak Amanat Nasional, Pemuda Demokrat, dan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Jenderal Soedirman, yang sempat menyelenggarakan aksi dengan jumlah massa ratusan orang.
Yang paling menarik adalah “riak-riak” demonstrasi yang melanda hampir seluruh kota yang ada di Jateng. Di Cilacap ada Front Mahasiswa Cilacap yang sempat menggelar demo di depan Kompleks Kilang Minyak milik Pertamina Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap, Kamis (15/5). Lalu di Kebumen terdapat Aksi Massa Pro Rakyat (AMPERA), antara lain terdiri dari organisasi PMII dan Serikat Masyarakat Pinggiran (Semapi).
Riak-riak lain (yang sempat Penulis saksikan melalui televisi) terdapat di Jepara, Temanggung, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Tegal dan daerah-daerah lainnya. Jumlah massa pendemo memang tidak besar dan hanya berkisar puluhan orang. Namun munculnya demo-demo penolakan kenaikan BBM yang merata di semua tempat di Jateng mengindikasikan persoalan yang nyata dan sama dihadapi seluruh rakyat negeri ini.
Sebegitu jauh, terdapat evaluasi penting atas gelombang perlawanan kenaikan BBM. Pertama, protes kenaikan BBM identik dengan mahasiswa. Nyaris semua demo didominasi wajah-wajah muda mahasiswa, sementara elemen rakyat (buruh-tani) sekedar pelengkap dan supaya terkesan legitimatif. Kedua, putusnya komunikasi antar organ perlawanan antar kota, bahkan dalam satu kota bisa terdapat bermacam-macam elemen dan kelompok.
Dua karakter perlawanan ini sedikit banyak yang membuat upaya penolakan kenaikan BBM tidak efektif. Selain tidak mampu memobilisasi jumlah massa secara besar-besaran (berhadapan dengan isu yang sedemikian besar), kekompakan perlawanan hanya dihubungkan oleh pemberitaan di media massa, terutama televisi.
Bahkan ada tudingan bahwa keaktivan kelompok mahasiswa di daerah-daerah pelosok sekalipun unjuk diri atau yang dikenal dalam istilah “eksistensialis”. Para mahasiswa ini yang melek informasi tergugah dan terdorong melakukan aksi semata-mata karena tidak mau kalah dari mahasiswa kota-kota lain yang kerap diberitakan di televisi menyelenggarakan aksi, termasuk aksi anarkisme-nya yang menjalar.

Identik Mahasiswa
Identifikasi penting perlawanan kenaikan harga BBM adalah dominasi kelompok mahasiswa, sehingga nyaris bisa dikatakan gerakan penolakan harga BBM adalah potret gerakan mahasiswa saat ini. Keterlibatan penuh mahasiswa di satu sisi disyukuri karena berarti radikalisme mahasiswa masih bisa diharapkan. Tapi di sisi lain, isu kenaikan harga BBM seakan-akan menjadi milik gerakan mahasiswa.
Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya kelompok mahasiswa malahan tidak terimbas langsung dari efek kenaikan BBM. Mahasiswa saat ini umumnya berasal dari kelompok mampu dan terkonsentrasi di kampus-kampus negeri. Kenaikan BBM pada dasarnya kurang mempengaruhi “kesejahteraan” mahasiswa, karena toh mereka tinggal mengajukan “proposal” kenaikan uang kiriman orang tua.
Keaktifan mereka dalam gelombang perlawanan, maka, tidak lain dari sikap solidaritas, kepedulian atau altruisme belaka, dan bukan perlawanan sesungguhnya (katakanlah dibandingkan buruh yang menuntut kenaikan upah). Sekali lagi, mahasiswa tidak terkena imbas naiknya harga BBM sedahsyat buruh dan petani. Sehingga alasan penting keterlibatan mereka dalam aksi semata-mata karena ketrenyuhan melihat nasib rakyat.
Keidentikan aksi anti BBM naik dengan mahasiswa melahirkan fenomena negatif. Pertama, perlawanan kurang mampu memobilisasi massa besar karena jumlah mahasiswa tetaplah sedikit dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Kedua, keengganan kelompok masyarakat melakukan protes serupa dikarenakan kesan “elitisasi” isu (hanya mahasiswa). Ketiga, sejumlah kalangan rakyat protes mereka sudah terwakili oleh demo-demo mahasiswa. Keempat, semangat perlawanan mahasiswa toh ada batasnya, seperti menghadapi ujian atau sekedar pulang kampung.
Kejumudan di atas mesti terpecahkan ketika kebijakan serupa ini akan tampil lagi di masa-masa yang akan datang (kenaikan BBM kemarin bukan terakhir kali, kata wapres Yusuf Kalla). Pertama, dengan mendorong mahasiswa giat mengajak elemen rakyat supaya ikut serta dalam demo-demo penolakan kenaikan harga BBM. Kedua, kelompok-kelompok buruh-tani sendiri mesti melihat bahwa persoalan kenaikan harga BBM merupakan hal pokok yang sama-sama harus diperjuangkan penolakannya.
Yang paling diharapkan di antara elemen-elemen rakyat lainnya adalah buruh. Mereka memiliki jumlah massa tak terbatas, terutama di kantong-kantong industri (Semarang, Solo, Salatiga). Harus ada injeksi kesadaran bahwa isu naiknya BBM pun isu kaum buruh dan tak sekedar persoalan-persoalan yang langsung mereka hadapi (upah, kontrak.outsourcing, hak-hak normatif). Kegairahan penolakan kenaikan BBM mestinya setara sebagaimana halnya ketika buruh hendak memperingati Mayday.
Selain KASBI yang all-out melakukan penolakan kenaikan BBM baik di pusat maupun di daerah-daerah, kita belum melihat semangat yang sama di kelompok buruh lainnya, yang sebenarnya memiliki jumlah massa lebih besar. Paling jauh pimpinan serikat-serikat buruh di maksud hanya berkomentar di koran, yang efeknya tidak bakal dirasakan dan dinilai sebagai gerundelan belaka.
Masalah mendasar lainnya adalah inter-relasi gerakan perlawanan, minimal dalam skala Jawa Tengah (sebelum membayangkan persatuan gerakan nasional). Inter-relasi ini bisa dibagi antar organ perlawanan, antar aliansi maupun antar kota. Gerakan di Jawa Tengah masih menganut “spartanisme”, yang berarti bentuk perlawanan yang tidak teratur, tidak terkoordinasi dan terpecah-pecah. Perlawanan jenis ini, apalagi mengandalkan massa yang kecil, mudah dipatahkan dan tidak efektif memaksakan tuntutan dipenuhi rejim.
Bukan saja dalam skala provinsi, dalam satu kota sendiri bisa terdapat berbagai elemen yang berlawan sendiri-sendiri, bahkan dalam satu saat (mengejar momentum). Demo terlihat bagai permainan kanak-kanak ketika elemen-elemen dengan satu tuntutan ini bertemu di lapangan. Hal ini jamak terjadi di Semarang dan Solo.

Dunia Usaha Tidak Anti Buruh Sejahtera!

Oleh: AGUNG SUSENO SETO*)


Selama ini dominan adanya pandangan yang menyebutkan kelangsungan dunia usaha berkebalikan dengan tingkat kesejahteraan buruh. Artinya dunia usaha akan semakin maju kalau buruh ditekan upahnya sekecil mungkin, dan sebaliknya buruh yang diupah besar akan memurukkan dunia usaha, bahkan gulung tikar.
Pandangan ini bukan saja tercetak dalam benak kaum buruh, tapi lebih-lebih justru pada pihak pengusaha. Seorang petinggi Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) kota Solo baru-baru ini menyatakan upah minimum kota (UMK ) yang besar hanya mungkin ada dalam kehidupan di republik mimpi.
Secara kasat mata dan dalam lingkup mikro, hubungan kontradiktif itu ada benarnya. Namun apabila ditelisik lebih dalam dan melihat pengalaman-pengalaman negara lain, sebaliknya hubungan simbiosis mutualisma (saling menguntungkan) ternyata bisa terjadi. Dunia usaha maju, buruh pun makin sejahtera.
Contohnya di negara-negara maju (bisa ditambahkan pula Negara semacam Korea Selatan dan Malaysia). Pendapatan warga negara-negara tersebut di atas 20 ribu dollar pertahun. (200 juta/tahun), termasuk yang bekerja sebagai buruh. Tidak heran jika buruh di negeri-negeri maju bisa membeli mobil, memiliki rumah bagus, melancong ke luar negeri dan berpendidikan tinggi. Apakah lantas dunia usaha di negara-negara maju tidak berkembang?
Ternyata sebaliknya. Dunia usaha mereka jauh lebih maju dari dunia usaha di Indonesia. Perusahaan-perusahaan terkemuka di AS, Eropa dan Jepang bahkan menguasai lebih dari tiga perempat aset ekonomi dunia. Sejumlah perusahaan Korea tumbuh meraksasa dan Malaysia juga mulai menyusul.
Amerika Serikat mungkin memiliki gurita bisnis di seluruh dunia. Namun pasar dalam negeri di Amerika sendiri sangat besar. Pendapatan film-film produksi Hollywood dari pasar dalam negeri tetap lebih besar dari peredarannya di seluruh dunia. Hal tersebut mengandalkan performa pendapatan perkapita warganya yang luar biasa tinggi.
Negara China yang ekonominya saat ini sedang luar biasa tumbuh tidaklah semata-mata mengedepankan upah buruhnya yang murah. Perusahaan apapun di negeri tirai bambu itu mampu meraup untung karena tumbuhnya secara massal kelompok menengah dengan pendapatan ribuan dollar/tahun. Harus dicatat, upah buruh China tidak lebih rendah dari Indonesia (bahkan jauh lebih tinggi di kawasan industri tertentu), di samping masyarakatnya menikmati subsidi tinggi di bidang pendidikan dan kesehatan.
Korea Selatan adalah negara yang justru mengambil kebijakan yang pro-upah buruh tinggi. Negara itu menyadari tumbuhnya industri justru harus ditopang oleh upah buruh yang memadai. Merekalah pertama-tama konsumen andalan bagi industri nasional negeri ginseng itu sebelum melakukan ekspansi ke negara-negara lain.
Alasannya sederhana, jika upah buruh tinggi otomatis daya beli masyarakat juga tinggi. Secara natural, orang yang memiliki lebih banyak uang akan membelanjakan uangnya lebih royal dan jauh lebih besar dari mereka yang sedikit uang karena akan berpikir penghematan. Dengan daya beli yang tinggi, segala macam produk yang dipasarkan dapat terjual lebih mudah dan dengan sendirinya dapat menjaga kelangsungan dunia usaha, bahkan bisa lebih meraksasa.
Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Upah buruh ditekan habis baik oleh pengusaha maupun pemerintah dengan alasan menarik investasi asing. Nyatanya tingkat investasi di negeri ini tidak pernah lebih baik dari Malaysia dan Thailand (jangan bandingkan dengan Singapura!) yang upah buruhnya lebih tinggi. Artinya terdapat instrumen lain yang lebih menentukan dari tingginya tingkat investasi suatu negara.
Instrumen-instrumen yang ramah investasi asing itu diantaranya birokrasi yang efisien, tersedianya fasilitas yang memadai, minim atau tiadanya biaya siluman dan regulasi lain yang memudahkan. Soal biaya siluman saja konon bisa menggerogoti keuangan perusahaan sampai 30%, padahal alokasi untuk menggaji buruh kurang dari 15%.
Upah buruh murah hanya akan dimanfaatkan pebisnis asing untuk mengeksploitasi tenaga buruh dan menjual produknya kembali ke negara asalnya (ekspor). Mereka tidak perlu memikirkan upah buruh memadai karena produknya dijual ke negara yang warganya berdaya beli tinggi. Yang babak belur justru produsen dalam negari yang tidak memiliki orientasi ekspor. Mereka akan dihadapkan pada tingkat daya beli masyarakat yang rendah.
Solusi atas keruwetan hubungan itu terletak pada political will pemerintah. Jika pemerintah mampu menderek penghasilan buruh naik secara optimum dengan tahapan-tahapan yang tepat, dunia usaha justru diuntungkan. Upah memadai bagi 25 juta buruh di Indonesia tentu pasar yang menarik bagi segala macam produk. Kesejahteraan buruh tinggal persoalan waktu belaka.
Upaya ini harus diikuti kebijakan yang pro-produksi. Pemerintah tidak perlu terus menunggu datangnya investasi asing, tapi dapat melakukan investasi sendiri memanfaatkan anggaran negara. Hal ini bukan tidak mungkin. Pemberian gaji ke-13 bagi PNS setiap tahun menyerap anggaran sampai Rp. 18 trilyun. Uang sejumlah itu cukup untuk membangun pabrik skala menengah sejumlah 18.000 buah yang dapat menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
Program industrialisasi nasional akan memutus ketergantungan pada produk asing yang kini kian menggejala. Jangankan mobil, sepeda motor atau telepon seluler, sekedar peniti saja harus diimpor.
Kita lihat perkembangannya saat ini. Kenaikan upah buruh hanya menyamai tingkat inflasi (artinya sama saja). Sampai kiamat sekalipun, buruh tidak akan sejahtera. Untuk membeli mobil seharga seratusan juta rupiah, seorang buruh Indonesia harus bekerja sampai 200 bulan (lebih dari 16 tahun!) tanpa membeli kebutuhan lain.
Kalaupun upah buruh tinggi dianggap sebagai hidup dalam republik mimpi, upah buruh rendah adalah mimpi buruk dalam tidur yang tidak diketahui kapan buruh bisa terjaga.

Agung Suseno Seto, mahasiswa FAI Syariah UMS Surakarta