Rabu, 04 Maret 2009

UNDANGAN MENULIS PUISI: MENYIKAPI PEMILU MELALUI PUISI

Pemilu sebentar lagi. Inilah perhelatan akbar yang menyita perhatian semua orang. Di televisi melalui iklan yang berhamburan klaim keberhasilan partai, di koran berupa berita dan (lagi-lagi) iklan. Saat kita keluar rumah, perhatian kita terbetot oleh rimba spanduk yang merayu dan mendayu.
Bukan bermaksud menambah-nambahi (atau sok peduli!), kita (sebagai penyair maupun bukan) perlu pula ikut rembugan Pemilu. Tak berwacana, melainkan sekedar menulis puisi bertemakan Pemilu. Tentu bukan ajang berkampanye (bahkan jika Anda seoramg caleg), tetapi ruang kritik atas Pemilu, yang oleh sebuah organisasi buruh (Pemilu 2009) “bukan Pemilu rakyat”.
LIBAT – Lingkar Seni-Budaya Rakyat, jejaring komunitas seni pro-rakyat – mengundang Anda sekalian yang kebetulan membaca undangan sederhana ini, untuk menulis Puisi Pemilu. Tidak ada syarat bermakna, kecuali satu-dua biji tulisan berbentuk puisi. Puisi-puisi Anda kami tunggu hingga 15 Maret 2009 ini dan dikirim via e-mail: libat@ymail.com.
Puisi terkumpul akan ditampilkan di web LIBAT dan direncanakan diterbitkan dalam bentuk antologi bersama.
Terima kasih atas perhatian dan partisipasi Anda.

Koordinator LIBAT


Joko Sumantri
085647517296

Senin, 16 Februari 2009

Politik: JIKA ARTIS BERPOLITIK

Joko Sumantri, Anggota PRP Solo

Fenomena artis, selebriti atau penghibur dalam panggung politik bukanlah khas Indonesia. Negara adidaya AS mengenal gubernur sekaligus aktor Arnold Schwarzenegger dan bahkan Ronald Reagan, bintang film yang tak terlalu bersinar tapi malah menjadi presiden paling terkenal dalam sejarah AS. Politisi artis juga dikenal di negara tetangga Filipina dan di sejumlah negera di Amerika Latin.
Yang membedakannya adalah kehadiran politisi artis di negeri ini sudah terlalu banyak atau mengalami inflasi. Nyaris setiap parpol “memiliki” artis-artis jagoannya, entah sekedar pendukung dalam kampanye, calon legislatif sampai calon kepala daerah. Dan menariknya, menjelang Pemilu 2009, para artis ini kian memenuhi daftar kontestasi politik dari level daerah hingga pusat.
Pemicu fenomena artis berpolitik adalah kemenangan sensasional Dede Yusuf sebagai wakil gubernur Jawa Barat dalam pilkada beberapa waktu lalu, juga Rano Karno sebagai wakil walikota Tangerang. Beberapa nama akan bertarung, seperti aktor Anwar Fuady, presenter Helmy Yahya sampai penyanyi dangdut Syaiful Jamil di sebuah pilkada di Jabar.
Sebelumnya, peta politik Indonesia sebenarnya sudah ramai oleh keterlibatan sejumlah selebriti, seperti Nurul Arifin (Golkar), Marissa Haque (cawagub Banten), Rieke Dyah Pitaloka (PKB kini ke PDI-P), Wanda Hamidah (PAN), anggota DPR dari Partai Demokrat, Adjie Massaid, Komar dan Angelina Sondakh (dikabarkan akan dicalonkan dalam pilkada Magelang).
Jumlah riil-nya masih banyak, tersebar ke sejumlah partai besar maupun kecil. Menjelang pelaksanaan pemilu, dipastikan sejumlah artis bakal kian berbondong-bondong memilih “lapak”-nya sendiri-sendiri. Beberapa nama yang kini digadang-gadang adalah Eko Patrio, Adrian Maulana, Tessa Kaunang, Maya Rumantir, Primus Yustisio (Cawali Subang), dll.
Keterlibatan para penghibur dalam pentas politik sah-sah saja. Terutama jika melihat hak dasar seorang artis sekaligus warga negara, sangat sah untuk tak sekedar memilih. Namun apabila terlalu banyak artis yang berpolitik, fenomena yang berubah menjadi kecenderungan ini patut dipertanyakan. Terutama apa dampaknya bagi atmosfer politik negeri ini.
Dengan segenap pesona yang dimiliki, artis memiliki keunggulan dibanding kompetitor biasa. Seorang artis kerap tampil di televisi dan selalu tampil baik dan menarik. Artis di televisi nyaris tanpa cela, cantik atau ganteng dan baik hati. Mereka tampil tak menarik hanya ketika disuruh mengomentari hal-hal serius, dimana kerupawanan wajah tampil sebagai pelengkap.
Di tengah ketidakpopuleran calon-calon pemimpin konvensional, bahkan status-quo yang identik KKN, publik sangat mudah mengalihkan dukungan ke calon-calon yang track-record politiknya tak jelas, namun cukup dikenal. Peluang inilah yang sangat menguntungkan bagi artis dan memuluskan jalan ke kursi politik tertentu.
Persoalannya, dan hal ini juga telah kerap dipersoalnya, bagaimana mengenai kapabilitas dan kualitas seorang artis itu sendiri, terutama setelah terpilih? Jangan-jangan, keterlibatan artis “lagi-lagi” sebagai pelengkap penggembira, pemanis pemandangan atau apapun namanya. Atau hal yang lebih mengerikan, para artis sebagai vote getter bermakna saat prosesi pemilihan saja, dan sesudahnya menjadi pajangan meski mendapat posisi prestisius.
Lebih-lebih, beberapa nama artis yang kini duduk di Senayan tak jelas kontribusinya, dan malah lebih sering bolak-balik tampil di infotainmen ketimbang dimintai pendapat saat segmen berita. Misalnya Adjie Massaid yang lebih disorot berita perceraiannya dengan penyanyi Reza, bahkan ketika diwawancarai media di kompleks Senayan.

Saling Memanfaatkan
Sorotan bahwa partai politik memanfaatkan popularitas artis pun mengemuka. Artis-artis itu mesin pendulang suara yang efektif yang tak memerlukan kampanye habis-habisan. Dan apabila tetap perlu mengadakan kampanye massif, toh para artis memiliki kemampuan logistik yang memadai, meski tak sekuat pengusaha.
Partai politik berkepentingan dengan jumlah suara dan mulai tak terlalu peduli siapa yang akan terpilih. Sepanjang para artis itu teruji mengumpulkan suara yang besar, parpol tak bakalan segan mendudukkan mereka hingga ke posisi tertinggi yang dimungkinkan.
Dalam hal ini, para artis itu terkesan menjadi korban atau dikorbankan. Hanya saja ketika ternyata sangat banyak dan mungkin terlalu banyak artis yang bersedia dikorbankan, kesan pada awal paragraf ini patut diuji kembali.
Sejumlah artis yang tampil ke politik tidak berada dalam peak performance, bahkan beberapa sudah pensiun. Rano Karno atau Dede Yusuf sudah jarang nongol di sinetron dan hanya sesekali sebagi bintang iklan. Beberapa nama yang tersebut dalam tulisan ini mulai mundur teratur sebagai selebriti dan hanya dikenal kembali setelah mempunyai kasus (cerai, kawin, selingkuh, rebutan anak, dsb) dan disorot habis-habisan oleh infotainmen.
Mereka tentu menyadari mulai tak terlalu “laku” lagi dalam jagad hiburan dan melihat bahwa politik adalah alternatif lain mempertahankan peri kehidupan atau life style yang setara artis. Ketika pintu kesempatan ini dibuka lebar-lebar oleh semua parpol, sedikit yang berani membuang peluang semacam ini.
Toh, politik tak menghalangi apalagi menghancurkan keartisan mereka. Apabila fase berpolitik usai dan sebagian mampu tampil lagi sebagai selebriti sesudahnya, program-program televisi tampaknya tak terganggu dengan track record artis mantan politisi.
Meskipun kapabilitas artis pantas dipertanyakan, mereka sama sekali tak selugu yang dikira, sehingga seakan-akan berpolitik tanpa reward atau dimanfaatkan tanpa benefit sedikit pun.

Benalu?
Maka, daripada mempersoalkan siapa memanfaatkan siapa, akan lebih berfaidah jika kita mempertanyakan niat dan tujuan artis itu sendiri dalam berpolitik Apabila semata-mata mencari penghidupan baru, kehadiran mereka dalam politik bukan saja pemanis panorama rapat atau sidang, melainkan benalu. Dan apabila politisi karbitan jenis ini kian banyak, bisa dibayangkan seperti apa kualitas parlemen kita.
Kehadiran artis di gedung pemerintahan, DPR atau DPRD, tidak sama lagi (katakanlah) ketika mereka mendampingi komentator sepakbola misalnya. Menjadi penguasa atau wakil rakyat sangat dituntut kemampuannya dalam mengartikulasikan aspirasi publik, kapabilitas penyampaian pendapat/debat sekaligus kualitas menyodorkan solusi-solusi cerdas. Berada di luar indikator ini siapapun (tak peduli artis ataupun bukan) berarti menjelma benalu politik.
Idealnya, seorang artis sekalipun ketika menapaki jalur politik harus melalui gemblengan parpol lebih dulu yang cukup lama dan intens (minimal sebagai anggota aktif). Artis-artis ini pun memiliki visi yang sama dengan parpol-parpol pilihannya dan tak asal memilih parpol. Dengan profil semacam ini (misalnya alm. Sophan Sopiaan di PDI-P atau Wanda Hamidah di PAN), kualitas politisi artis lebih terjamin daripada yang asal comot menjelang Pemilu.

Perburuhan: PHK MENGANCAM SEMUA

Oleh: Joko Sumantri, aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Surakarta


Hari demi hari berlalu, ancaman PHK bukan lagi hanya isu. Berita-beritanya telah menyebar. PHK di sana-sini telah dijatuhkan. Di Boyolali, 2 ribuan pekerja telah mengalaminya (Joglolsemar, 24/11). Perkiraan-perkiraan dalam setahun ke depan, mengisyaratkan situasi muram yang mungkin lebih mengkhawatirkan dari yang kita kira.
Perkembangan saat ini me-negasi opini-opini positif para ekonom dan pejabat pada awal krisis finansial global (kira-kira satu sampai dua bulan lalu). Saat itu banyak dari mereka yang mengklaim fundamental negara ini cukup kuat dalam menghadapi krisis global. Tidak adanya perbankan lokal yang tersangkut jejaring finansial AS yang kusut menguatkan anggapan ini.
Nyatanya, globalisasi ekonomi saat ini menjadikan tak ada satu negara pun yang kebal dari krisis manakala negara lain mengalaminya. Pada kondisi sekarang, krisis diperparah oleh keadaan bahwa krisis terjadi di jantung kapitalisme dunia.
Pertumbuhan ekonomi AS selama ini ditunjang oleh tingkat konsumsi. Tidak heran jika segala konsumsi berbagai kebutuhan, AS selalu nomer satu. Dari tekstil, elektronik, mobil hingga energi, konsumsi total warga AS hanya bisa ditandingi oleh konsumsi total warga dunia non-AS.
Maka ketika AS mengalami krisis yang bermula dari kredit perumahan ini, dimana tingkat konsumsi warganya mendadak melorot tajam, negara manapun segera mengalami kesulitan serupa. Belakangan, kecenderungan ini merambah ke Indonesia. Banyak perusahaan kesulitan mempertahankan order tersebab buyer di Amerika menghentikan pembeliaan.
PHK massal maupun perumahan karyawan hanyalah fenomena ikutan yang mau tak mau bakal terjadi, terutama jika tidak ada campur tangan pemerintah sama sekali.
Pemerintah memang bereaksi dengan mengeluarkan SKB 4 Menteri yang membatasi kenaikan upah pekerja kurang dari pertumbuhan ekonomi nasional (6%). Alasannya sederhana, pembatasan kenaikan upah meringankan beban pengusaha sehingga tak perlu mem-PHK karyawannya. Namun, dalam jangka panjang kita akan melihat bahwa kebijakan ini justru kontraproduktif dan mengarahkan negara ini pada stagnasi ekonomi.

Kepentingan Bersama
SKB 4 Menteri tidak akan banyak membantu sebab persoalan krisis tidak disebabkan oleh besaran upah buruh. Apalagi upah buruh di negeri ini sama sekali tidak besar. Sehingga kebijakan pemerintah tersebut seakan menimpakan hukuman pada buruh, padahal kesalahan atau kekeliruan dilakukan oleh kelompok pemodal, spekulan dan dalam beberapa hal juga pengusaha.
Proses PHK akan terus berjalan, terutama karena pabrik-pabrik kita banyak yang berorientasi ekspor. Upaya memperkuat pasar dalam negeri, seperti yang ditekadkan oleh Presiden SBY, berbenturan daya beli masyarakat yang rendah dan penguasaan pasar dalam negeri oleh produk-produk asing. Dan rendahnya daya beli masyarakat disebabkan pengaturan upah pekerja murah dan nilai tukar petani yang rendah!
PHK massal kian membenamkan negeri ini dalam kubangan persoalan. Pekerja ter-PHK bukan hanya berdaya beli rendah, melainkan nol atau nihil sama sekali. Tanpa penghasilan, seseorang tidak mungkin berkonsumsi atau konsumsinya terbatas pada tindak bertahan hidup yang diperoleh dari belas kasih kerabat.
Tingkat pengangguran tinggi, dengan demikian makin mengepras daya beli masyarakat pada tingkat sangat rendah. Indeks konsumai segera menurun tajam dan menghantam tingkat produksi. Ketika pasar dalam negeri pun tak bisa diandalkan, perusahaan-perusahaan bakal kian berlomba-lomba mem-PHK karyawan untuk menyelamatkan kondisi keuangannya masing-masing.
Banyak hal buruk ketika PHK massal dibiarkan. Sebagian pekerja akan beralih kerja, terutama membuka warung semacam PKL yang memacetkan jalan-jalan, menjelma pengamen bahkan pengemis dan gelandangan. Kota-kota yang selama ini sudah kewalahan menangani persoalan-persoalan tersebut, bakal tambah kerepotan dan mungkin menyerah menghadapi membludaknya problem-problem urban ini.
Sebagian kecil pekerja ter-PHK terpaksa terlibat dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat dan menambah beban kepolisian.

Nasionalisasi?
Adakah jalan keluar dari ancaman PHK massal di masa yang tidak lama lagi dari sekarang?
Upaya pemerintah memperkuat pasar dalam negeri sudah tepat, namun harus diikuti serangkaian kebijakan penunjang. Pasar dalam negeri terutama harus dilindungi dari serbuan produk asing sehingga produk nasional mendapat keleluasaan gerak.
Belanja pemerintah harus diarahkan untuk produk dalam negeri, selain harus dihemat dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan semu (seperti pengadaan inventaris kantor tiap ganti anggaran, pembelian mobil mewah dan pemenuhan fasilitas berlebihan lainnya bagi pejabat).
Selain itu, daya beli masyarakat harus dijaga agar mampu menyerap produk dalam negeri. Sehingga justru harus disiapkan skema peningkatan upah buruh dan nilai tukar petani yang signifikan, meskipun tetap harus terkendali.
Menghadapi PHK, nasionalisasi pabrik-pabrik yang terancam tutup perlu dipertimbangkan. Selama ini wacana nasionalisasi hanya berhembus pada BUMN yang terprivatisasi atau bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang cenderung padat modal.
Pengambilalihan pabrik yang ditinggal investor justru jauh lebih srategis. Biaya yang dikeluarkan cenderung tidak besar (dibanding buy back saham ataupun penyelamatan bank yang bisa bernilai ratusan trilyun). Upaya ini akan mempertahankan produksi disamping mencegah PHK massal.
Toh, nasionalisasi korporasi bukan hal yang tabu lagi. Biangnya kapitalisme, Amerika Serikat, sudah menyuntikkan dana ratusan milyar dollar kepada sejumlah perusahaan. Yang berarti pemerintah AS saat ini memiliki sejumlah perusahaan yang dulunya milik swasta (misalnya pemerintah AS sekarang adalah operator perusahaan asuransi terbesar di dunia, AIG).
Jika dimungkinkan, pemerintah bahkan harus mulai memperkuat industri nasional dan mengambil kebijakan substitusi impor. Pabrik-pabrik baru perlu dibangun guna memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang selama ini dicukupi produk impor yang menyabot dana masyarakat berpindah ke luar negeri secara besar-besaran.
Menghadapi problem-problem luar biasa di masa datang, kiranya memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa.

Politik: ORANG MISKIN DILARANG “NYALEG”!

Joko Sumantri, Anggota PRP Komite Kota Solo


Evo Morales sebelum akhirnya terpilih sebagai presiden Bolivia adalah bujangan bersahaja tanpa rumah sendiri. Lelaki yang kerap memimpin demonstrasi jalanan ini tetap berpenampilan sederhana setelah menjadi presiden. Morales kerap memakai baju tradisional Bolivia dan tidak memperlihatkan diri sebagai pejabat tinggi yang necis atau berfasilitas supermewah laiknya seorang presiden.
Di belahan dunia lain, ada Lech Walesa mantan presiden Polandia pasca rejim komunis. Dia seorang buruh tukang las di sebuah pelabuhan. Karena aktivitasnya bertahun-tahun sebagai pemimpin buruh, Lech Walesa didapuk sebagai presiden. Hebatnya, setelah selesai menjabat jabatan tertinggi itu, Lech Walesa kembali ke pekerjaan lamanya sebagai buruh pelabuhan.
Evo Morales dan Lech Walesa beruntung hidup di dua negara tadi. Seandainya mereka tinggal dan hidup di Indonesia, mereka akan kesulitan menciptakan sejarah. Sebab “berkarir” dalam bidang politik di negeri ini tidak cukup dengan keyakinan, kerja keras maupun kesungguhan. Berpolitik di negeri ini memerlukan modal lain, yang akan sangat sulit dipenuhi oleh buruh berpenghasilan rendah atau bujangan tanpa rumah.
Beberapa hari kemarin, koran ini menyuguhkan kedegilan politik parpol peserta Pemilu, entah lama ataupun baru. Secara terbuka sejumlah parpol mematok “harga” bagi orang yang ingin menjadi caleg. Melalui kedok biaya pendaftaran hingga dana kampanye, parpol-parpol mensyaratkan setoran bacaleg mulai ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Rasanya sulit menalar “keterbukaan” ini. Sekedar hasrat menjadi anggota legislatif tingkat dua (kota/kabupaten) saja harganya sedemikian tinggi.
Kenyataan ini menjungkirbalikkan “aksioma” demokrasi mendudukkan setiap orang dalam posisi yang sama tanpa melihat SARA, jender maupun tingkat ekonomi. Partisipasi politik secara kasat mata memiliki saringan. Celakanya saringan ini bukan untuk memfilter calon-calon pemimpin unggul, melainkan saringan dengan standar kepemilikan modal berpolitik.
Jika “status-quo” ini tidak pernah diutak-atik, maka kita tidak akan pernah berkesempatan memiliki pemimpin bervisi kerakyatan seperti Evo Morales atau Lech Walesa yang sederhana. Terjunnya seseorang berpolitik tidak lagi dilandasi semangat membawa perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat, melainkan murni bisnis. Berpolitik seperti menanam investasi dimana suatu ketika modal harus kembali (break event point).

Hak si Miskin
Tabiat parpol di level daerah yang mematok harga pencalegan (yang sangat mungkin teridentifikasi pula di level lebih tinggi dan pasti jauh lebih besar nilainya) mencerminkan kesalahan sistemik politik kita. Alasan berpolitik membutuhkan modal (misalnya untuk kampanye) kurang berterima. Apabila politik Amerika yang liberal menjadi perbandingan, tetap saja calon-calon pemimpin di sana tidak mengandalkan dana pribadi, melainkan sumbangan dari banyak pihak.
Imbas pertama-tama dari fenomena ini adalah tertutup rapatnya pintu politik dari jangkauan si miskin, seperti kaum buruh, tani maupun kaum miskin lainnya. Padahal apabila mencerminkan tingkat keterwakilan yang murni, maka kaum miskin ini mestinya mampu mendudukkan wakilnya secara mayoritas di DPR dari level pusat hingga daerah. Alasannya sederhana: jumlah orang miskin jauh lebih besar daripada yang kaya/mampu.
Ketiadaan wakil kaum miskin dalam berpolitik menyebabkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pernah menguntungkan kelompok miskin seperti yang selama ini berlangsung. Secara permanen, kita akan selalu disuguhi drama penolakan-penolakan spartan kaum miskin terhadap kebijakan yang tidak memihak mereka.
Sebaliknya, politik beraroma uang mengundang para pemodal seperti pengusaha, politisi lama hingga artis untuk maju dan bertarung mewakili partai apapun. Sebab hanya merekalah yang mampu “membeli” tiket untuk bertarung dalam pemilu/pilkada. Begitulah yang kemudian terjadi.
Fenomena ini bukannya tanpa resiko. Ketika mereka yang berpunya ini terpilih sebagai pemimpin, hal utama yang mereka kerjakan dan pikirkan adalah mengembalikan modal yang sudah ditanamkan. Di samping itu, pemimpin dengan profil seperti ini rawan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya sendiri dan meninggalkan aspirasi masyarakat.

Penuh Ujian
Tulisan ini bukannya mengaksiomakan bahwa ketika si miskin menjadi pemimpin lalu otomatis memiliki kepedulian tinggi pada golongan miskin. Banyak kasus (terutama pada saat Pemilu 1999) dimana sejumlah orang yang tidak tergolong mampu ternyata dapat menjadi anggota legislatif. Namun toh, perilaku mereka “sami mawon” atau setidaknya kurang mewakili aspirasi kaum miskin.
Latar belakang ekonomi seseorang memang tidak langsung menjamin kredibiltasnya ketika memimpin. Oleh karenanya, bukan soal seseorang memiliki uang atau tidak yang disortir menjadi pemimpin. Melainkan sebuah skema/sistem yang mampu memberikan kesempatan kepada siapapun untuk maju dan bertarung dalam berpolitik. Yang terjadi kemudian adalah adu visi dan strategi dalam merangkul suara masyarakat.
Ujian semacam ini berlangsung di tubuh tiap-tiap parpol itu sendiri. Parpol bertanggung jawab melahirkan kader-kader sekaligus calon pemimpin yang akan dinilai masyarakat kapabilitasnya. Keberhasilan sebuah parpol, maka, salah satunya ditentukan dari kemampuannya dalam merekrut kader dan membinanya. Parpol berarti mesin pendulang suara sekaligus pencetak calon pemimpin.
Di dalam parpol itu sendiri terdapat dinamika kerja dan kegiatan yang menjamin kemunculan sejumlah kader mumpuni. Parpol tidak sekedar lembaga politik yang hadir dan berwujud manakala pemilu/pilkada. Parpol laiknya gunung berapi yang terlihat diam, tetapi sebenarnya penuh riak, yang manifes ketika meletus.
Dalam mekanisme semacam ini, setiap orang memiliki kesempatan sama untuk berkiprah dalam politik. Orang miskin atau kaya, lelaki atau perempuan berada dalam takaran yang seimbang dan terbuka untuk bersaing memperlihatkan semangat, kesetiaan ideologi, kemampuan dan integritasnya.
Ketika parpol justru mempersilahkan orang luar menjadi caleg, terutama dipilih dari seberapa besar disumbang untuk partai, maka hancurlah skema partai sebagai mesin pencetak kader. Parpol lantas menjelma sebagai lembaga pengusung caleg belaka. Tak ubahnya event organizer atau bahkan makelar politik!

Artikel: Peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2008

Oleh: JOKO SUMANTRI
Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Surakarta dan aktivis Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Solo Raya


Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau Mayday. Di negara-negara maju atau negara berorientasi kiri, Mayday merupakan hari kemenangan buruh, diliburkan dan diperingati besar-besaran. Di Indonesia, Mayday tidak halnya. Mayday belum sampai pada tahap dirayakan sebagai hari kemenangan buruh. Meskipun tetap hari istimewa oleh kaum buruh pasca 1998, 1 Mei tidak diliburkan dan kurang diapresiasi oleh pemimpin politik negeri ini.
1 Mei kian istimewa karena saat inilah gerakan buruh menunjukkan kekuatan sebenarnya. Dipastikan di tiap kota di mana terdapat elemen buruh, mereka bakal turun ke jalan dengan antusias. Melalui momentum ini, buruh menyampaikan tuntutan-tuntutannya.
Sejumlah isu perburuhan utama masih berkisar persoalan upah yang memang jauh dari kata memadai. Di kota/kabupaten se-Jawa Tengah, upah minimum kota/kabupaten hanya Rp. 500-600 ribu per bulan. Ada dua kota yang dianggap menyamai kebutuhan hidup layak (KHL), yakni Solo dan Semarang. Lainnya masih berada di bawah KHL.
Meskipun ada trend UMK yang hendak menyamai KHL, buruh tetap tidak terlalu senang. Sebab “hidup layak” dalam akronim KHL tidak mencerminkan kebutuhan sebenarnya. Ukuran-ukuran yang digunakan terbatas dan kurang mencakup seluruh aspek kebutuhan manusia. Kualitas kebutuhan pun direndahkan supaya murah, plus dengan standar harga yang telah lewat (harga kebutuhan saat ini untuk dasar kenaikan KHL tahun berikutnya).
Isu lain yang tidak kalah hangat adalah buruh kontrak dan outsourcing. Mekanisme ini menjadikan buruh hanya bekerja dalam masa kontrak (bukan karyawan tetap) yang hak-haknya banyak terlucuti. Outsourcing memantapkan proses pelemahan kekuatan buruh dimana perusahaan mengandalkan perusahaan jasa penyedia tenaga kerja dan merasa tidak punya tanggung jawab terhadap buruh yang dipekerjakan.
Gejala ini merupakan bagian dari apa yang diistilahkan Labour Market Flexibility (LMF). Kebijakan ini berharap mampu menyediakan lapangan kerja dimana proses perekrutan tenaga kerja sekaligus pemutusan hubungan kerja (PHK) mudah dilakukan. Namun LMF justru merupakan horor bagi yang telah bekerja, berada dalam ketidaktenangan karena sewaktu-waktu bisa putus kontrak atau dipecat. Di samping mekanisme LMF memberi amunisi bagi pengusaha untuk tidak memenuhi hak-hak normatif buruh.
Sejauh isu-isu ini tidak terselesaikan, buruh akan terus melakukan demonstrasi yang dipusatkan pada peringatan Hari Buruh Sedunia tiap tanggal 1 Mei atau tiap-tiap ada kebijakan yang tidak memihak buruh.

Pilgub Jateng
Peringatan Hari Buruh tahun ini kian istimewa karena Jawa Tengah hendak menyelenggarakan pemilihan gubernur pertama kali pada 22 Juni 2008. Pergerakan buruh di Jawa Tengah tentu tak bakalan lepas dari amatan para cagub dan cawagub yang akan bertarung nantinya.
Suara dari kaum buruh jelas sangat besar dan lumbung suara yang tak bisa diabaikan. Jutaan suara dikantongi oleh buruh dan sangat menentukan perolehan suara dalam Pilgub. Jika dihitung dengan keluarga (istri, saudara dan anak), suara dari kaum buruh kian menggelembung.
Yang disebut buruh tentu bukan hanya mereka yang bekerja di pabrik dan terdaftar secara legal-formal. Sebutkan buruh dilekatkan pada siapapun yang menyediakan tenaga dan ketrampilan kepada pihak lain (pengusaha/pemodal) dan mendapatkan imbalan dari tugas dan pekerjaannya. Kategori ini berarti mencakup buruh pabrikan, PRT, petani penggarap, nelayan kecil, pekerja bangunan, dan sebagainya.
Di negara-negara maju, suara buruh sangat disegani dan memiliki saluran politik tersendiri (partai). Partai-partai buruh ini bahkan kerap berkuasa dan memerintah. Sementara di Indonesia, sudah ada (beberapa) partai buruh namun sangat kecil dan tidak diperhitungkan keberadaannya. Partai buruh yang ada pada dasarnya memang bukan perwujudan dari keinginan buruh, melainkan “jadi-jadian” dari personal yang mengatasnamakan buruh.
Buruh sebagai konsituen politik berada dalam posisi mengambang (floating mass). Tidak ada ikatan politik terhadap parpol tertentu. Keputusan memilih partai atau calon dalam pemilu sebatas keputusan pribadi, like and dislike, atau bahkan menurut “aliranisme politik” buruh secara personal. Keambangan pilihan ini didukung tidak ada partai politik yang secara tegas memiliki keberpihakkan pada kepentingan buruh.
Dalam konteks Pilgub tentu ada nuansa berbeda. Kapasitas pribadi cagub dan cawagub lebih menentukan ketimbang partai politik pengusungnya. Integritas pribadi cagub dan cawagub bakal lebih disorot, dimana track record mereka merupakan ukurannya. Peristiwa kemenangan cagub dan cawagub yang kurang terduga di Jawa Barat dan Sumatera Utara adalah contohnya.
Para cagub dan cawagub mesti bekerja keras meyakinkan buruh untuk memilih salah satu dari mereka. Buruh kenyang pengalaman terhadap janji-janji dalam kampanye, yang kerap diingkari ketimbang dipenuhi. Semanis apapun janji kampanye yang ditawarkan akan disikapi dengan sangat hati-hati.
Kecenderungan utamanya justru bukan pada siapa yang akan dipilih buruh, tetapi apakah para buruh sendiri punya kemauan untuk memilih atau malah menjadi golput. Sebab bagi buruh, proses politik yang ada (dari pilpres sampai pilbup) nyatanya kurang memberi andil bagi perbaikan kesejahteraan mereka. Bahkan janji-janji kampanye yang tak langsung menyentuh kepentingan buruh (pendidikan dan kesehatan gratis) realisasinya tidak ada ketika si kandidat akhirnya terpilih.
Pilgub Jateng, untungnya, yang pertama kali ada sehingga belum ada ukuran memadai menilai masing-masing cagub/cawagub. Namun bukan berarti rayuan mudah disampaikan, mengingat buruh belajar dari pengalaman maupun informasi di daerah lain melalui media massa.

Sikap Cagub

Buruh butuh penjelasan dan sikap para cagub terhadap persoalan-persoalan di seputar mereka dan tidak sekedar lontaran janji-janji normatif yang tidak jelas aplikasinya. Pertama-tama, buruh memerlukan sikap para cagub cagub dalam memandang upah layak bagi buruh maupun isu mengenai buruh kontrak dan outsourcing.
Seandainya seorang gubernur tidak memiliki kewenangan lebih (karena ada UU yang mengaturnya), apa langkah-langkah yang mungkin dapat ditempuh guna mengurangi beban hidup buruh? Sanggupkah, misalnya, gubernur terpilih menyediakan beasiswa bagi anak keluarga buruh yang melanjutkan pendidikan? Atau menjamin pelayanan kesehatan bagi buruh bisa benar-benar murah, bahkan gratis.
Selamat Hari Buruh!

Artikel: Buruh Jateng Melawan Kebijakan Rejim

Oleh: Joko Sumantri
Anggota Serikat Buruh Solo Raya – Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (SBSR-KASBI)


Di balik kenyataan pahit keputusan rejim menaikkan harga BBM, optimisme menyembul bahwa rakyat belum kehilangan semangat juang guna memperjuangkan hak-haknya. Hal ini terlihat dari perlawanan spartan seluruh elemen rakyat menolak kenaikan harga BBM sepanjang bulan Mei hingga awal Juni 2008 ini. Di Jawa Tengah, peta gerakan mendadak hidup, bahkan hingga ke daerah-daerah yang selama ini jarang terdengar ada demo.
Di ibukota Jawa Tengah, Semarang, sejumlah elemen dengan gigih mendatangi tempat-tempat publik, terutama kantor gubernuran, berulang kali, bahkan sempat menimbulkan insiden kecil. Setidaknya ada empat kelompok yang tercatat: Pertama, Front Rakyat Menggugat (GMNI, PMII, KAMMI, sejumlah LSM), Komite Mahasiswa Semarang (KAMAS), Forum BEM dan Front Pembebasan Nasional (FPN) yang mempertemukan kelompok buruh, FSBI-KASBI, GMKI, SMI, dll.
Di Solo yang juga memiliki tradisi perlawanan yang keras terhadap kebijakan yang merugikan rakyat, memunculkan sejumlah kelompok, yakni AMUK Rakyat (LSM Yaphi dan elemen mahasiswa hampir dari semua kampus yang ada di Solo), Aliansi Rakyat Menggugat (kumpulan LSM), Forum BEM dan FPN (SBSR-KASBI, PRP, GMKI, PMKRI, GMNI).
Representasi pergerakan lain di Jateng adalah Purwokerto (dengan ukuran keberadaan kampus negeri). Di kota ini lahir Aliansi Perjuangan Rakyat, terdiri dari Barisan Muda Indonesia, Barisan Muda Penegak Amanat Nasional, Pemuda Demokrat, dan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Jenderal Soedirman, yang sempat menyelenggarakan aksi dengan jumlah massa ratusan orang.
Yang paling menarik adalah “riak-riak” demonstrasi yang melanda hampir seluruh kota yang ada di Jateng. Di Cilacap ada Front Mahasiswa Cilacap yang sempat menggelar demo di depan Kompleks Kilang Minyak milik Pertamina Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap, Kamis (15/5). Lalu di Kebumen terdapat Aksi Massa Pro Rakyat (AMPERA), antara lain terdiri dari organisasi PMII dan Serikat Masyarakat Pinggiran (Semapi).
Riak-riak lain (yang sempat Penulis saksikan melalui televisi) terdapat di Jepara, Temanggung, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Tegal dan daerah-daerah lainnya. Jumlah massa pendemo memang tidak besar dan hanya berkisar puluhan orang. Namun munculnya demo-demo penolakan kenaikan BBM yang merata di semua tempat di Jateng mengindikasikan persoalan yang nyata dan sama dihadapi seluruh rakyat negeri ini.
Sebegitu jauh, terdapat evaluasi penting atas gelombang perlawanan kenaikan BBM. Pertama, protes kenaikan BBM identik dengan mahasiswa. Nyaris semua demo didominasi wajah-wajah muda mahasiswa, sementara elemen rakyat (buruh-tani) sekedar pelengkap dan supaya terkesan legitimatif. Kedua, putusnya komunikasi antar organ perlawanan antar kota, bahkan dalam satu kota bisa terdapat bermacam-macam elemen dan kelompok.
Dua karakter perlawanan ini sedikit banyak yang membuat upaya penolakan kenaikan BBM tidak efektif. Selain tidak mampu memobilisasi jumlah massa secara besar-besaran (berhadapan dengan isu yang sedemikian besar), kekompakan perlawanan hanya dihubungkan oleh pemberitaan di media massa, terutama televisi.
Bahkan ada tudingan bahwa keaktivan kelompok mahasiswa di daerah-daerah pelosok sekalipun unjuk diri atau yang dikenal dalam istilah “eksistensialis”. Para mahasiswa ini yang melek informasi tergugah dan terdorong melakukan aksi semata-mata karena tidak mau kalah dari mahasiswa kota-kota lain yang kerap diberitakan di televisi menyelenggarakan aksi, termasuk aksi anarkisme-nya yang menjalar.

Identik Mahasiswa
Identifikasi penting perlawanan kenaikan harga BBM adalah dominasi kelompok mahasiswa, sehingga nyaris bisa dikatakan gerakan penolakan harga BBM adalah potret gerakan mahasiswa saat ini. Keterlibatan penuh mahasiswa di satu sisi disyukuri karena berarti radikalisme mahasiswa masih bisa diharapkan. Tapi di sisi lain, isu kenaikan harga BBM seakan-akan menjadi milik gerakan mahasiswa.
Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya kelompok mahasiswa malahan tidak terimbas langsung dari efek kenaikan BBM. Mahasiswa saat ini umumnya berasal dari kelompok mampu dan terkonsentrasi di kampus-kampus negeri. Kenaikan BBM pada dasarnya kurang mempengaruhi “kesejahteraan” mahasiswa, karena toh mereka tinggal mengajukan “proposal” kenaikan uang kiriman orang tua.
Keaktifan mereka dalam gelombang perlawanan, maka, tidak lain dari sikap solidaritas, kepedulian atau altruisme belaka, dan bukan perlawanan sesungguhnya (katakanlah dibandingkan buruh yang menuntut kenaikan upah). Sekali lagi, mahasiswa tidak terkena imbas naiknya harga BBM sedahsyat buruh dan petani. Sehingga alasan penting keterlibatan mereka dalam aksi semata-mata karena ketrenyuhan melihat nasib rakyat.
Keidentikan aksi anti BBM naik dengan mahasiswa melahirkan fenomena negatif. Pertama, perlawanan kurang mampu memobilisasi massa besar karena jumlah mahasiswa tetaplah sedikit dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Kedua, keengganan kelompok masyarakat melakukan protes serupa dikarenakan kesan “elitisasi” isu (hanya mahasiswa). Ketiga, sejumlah kalangan rakyat protes mereka sudah terwakili oleh demo-demo mahasiswa. Keempat, semangat perlawanan mahasiswa toh ada batasnya, seperti menghadapi ujian atau sekedar pulang kampung.
Kejumudan di atas mesti terpecahkan ketika kebijakan serupa ini akan tampil lagi di masa-masa yang akan datang (kenaikan BBM kemarin bukan terakhir kali, kata wapres Yusuf Kalla). Pertama, dengan mendorong mahasiswa giat mengajak elemen rakyat supaya ikut serta dalam demo-demo penolakan kenaikan harga BBM. Kedua, kelompok-kelompok buruh-tani sendiri mesti melihat bahwa persoalan kenaikan harga BBM merupakan hal pokok yang sama-sama harus diperjuangkan penolakannya.
Yang paling diharapkan di antara elemen-elemen rakyat lainnya adalah buruh. Mereka memiliki jumlah massa tak terbatas, terutama di kantong-kantong industri (Semarang, Solo, Salatiga). Harus ada injeksi kesadaran bahwa isu naiknya BBM pun isu kaum buruh dan tak sekedar persoalan-persoalan yang langsung mereka hadapi (upah, kontrak.outsourcing, hak-hak normatif). Kegairahan penolakan kenaikan BBM mestinya setara sebagaimana halnya ketika buruh hendak memperingati Mayday.
Selain KASBI yang all-out melakukan penolakan kenaikan BBM baik di pusat maupun di daerah-daerah, kita belum melihat semangat yang sama di kelompok buruh lainnya, yang sebenarnya memiliki jumlah massa lebih besar. Paling jauh pimpinan serikat-serikat buruh di maksud hanya berkomentar di koran, yang efeknya tidak bakal dirasakan dan dinilai sebagai gerundelan belaka.
Masalah mendasar lainnya adalah inter-relasi gerakan perlawanan, minimal dalam skala Jawa Tengah (sebelum membayangkan persatuan gerakan nasional). Inter-relasi ini bisa dibagi antar organ perlawanan, antar aliansi maupun antar kota. Gerakan di Jawa Tengah masih menganut “spartanisme”, yang berarti bentuk perlawanan yang tidak teratur, tidak terkoordinasi dan terpecah-pecah. Perlawanan jenis ini, apalagi mengandalkan massa yang kecil, mudah dipatahkan dan tidak efektif memaksakan tuntutan dipenuhi rejim.
Bukan saja dalam skala provinsi, dalam satu kota sendiri bisa terdapat berbagai elemen yang berlawan sendiri-sendiri, bahkan dalam satu saat (mengejar momentum). Demo terlihat bagai permainan kanak-kanak ketika elemen-elemen dengan satu tuntutan ini bertemu di lapangan. Hal ini jamak terjadi di Semarang dan Solo.

Dunia Usaha Tidak Anti Buruh Sejahtera!

Oleh: AGUNG SUSENO SETO*)


Selama ini dominan adanya pandangan yang menyebutkan kelangsungan dunia usaha berkebalikan dengan tingkat kesejahteraan buruh. Artinya dunia usaha akan semakin maju kalau buruh ditekan upahnya sekecil mungkin, dan sebaliknya buruh yang diupah besar akan memurukkan dunia usaha, bahkan gulung tikar.
Pandangan ini bukan saja tercetak dalam benak kaum buruh, tapi lebih-lebih justru pada pihak pengusaha. Seorang petinggi Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) kota Solo baru-baru ini menyatakan upah minimum kota (UMK ) yang besar hanya mungkin ada dalam kehidupan di republik mimpi.
Secara kasat mata dan dalam lingkup mikro, hubungan kontradiktif itu ada benarnya. Namun apabila ditelisik lebih dalam dan melihat pengalaman-pengalaman negara lain, sebaliknya hubungan simbiosis mutualisma (saling menguntungkan) ternyata bisa terjadi. Dunia usaha maju, buruh pun makin sejahtera.
Contohnya di negara-negara maju (bisa ditambahkan pula Negara semacam Korea Selatan dan Malaysia). Pendapatan warga negara-negara tersebut di atas 20 ribu dollar pertahun. (200 juta/tahun), termasuk yang bekerja sebagai buruh. Tidak heran jika buruh di negeri-negeri maju bisa membeli mobil, memiliki rumah bagus, melancong ke luar negeri dan berpendidikan tinggi. Apakah lantas dunia usaha di negara-negara maju tidak berkembang?
Ternyata sebaliknya. Dunia usaha mereka jauh lebih maju dari dunia usaha di Indonesia. Perusahaan-perusahaan terkemuka di AS, Eropa dan Jepang bahkan menguasai lebih dari tiga perempat aset ekonomi dunia. Sejumlah perusahaan Korea tumbuh meraksasa dan Malaysia juga mulai menyusul.
Amerika Serikat mungkin memiliki gurita bisnis di seluruh dunia. Namun pasar dalam negeri di Amerika sendiri sangat besar. Pendapatan film-film produksi Hollywood dari pasar dalam negeri tetap lebih besar dari peredarannya di seluruh dunia. Hal tersebut mengandalkan performa pendapatan perkapita warganya yang luar biasa tinggi.
Negara China yang ekonominya saat ini sedang luar biasa tumbuh tidaklah semata-mata mengedepankan upah buruhnya yang murah. Perusahaan apapun di negeri tirai bambu itu mampu meraup untung karena tumbuhnya secara massal kelompok menengah dengan pendapatan ribuan dollar/tahun. Harus dicatat, upah buruh China tidak lebih rendah dari Indonesia (bahkan jauh lebih tinggi di kawasan industri tertentu), di samping masyarakatnya menikmati subsidi tinggi di bidang pendidikan dan kesehatan.
Korea Selatan adalah negara yang justru mengambil kebijakan yang pro-upah buruh tinggi. Negara itu menyadari tumbuhnya industri justru harus ditopang oleh upah buruh yang memadai. Merekalah pertama-tama konsumen andalan bagi industri nasional negeri ginseng itu sebelum melakukan ekspansi ke negara-negara lain.
Alasannya sederhana, jika upah buruh tinggi otomatis daya beli masyarakat juga tinggi. Secara natural, orang yang memiliki lebih banyak uang akan membelanjakan uangnya lebih royal dan jauh lebih besar dari mereka yang sedikit uang karena akan berpikir penghematan. Dengan daya beli yang tinggi, segala macam produk yang dipasarkan dapat terjual lebih mudah dan dengan sendirinya dapat menjaga kelangsungan dunia usaha, bahkan bisa lebih meraksasa.
Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Upah buruh ditekan habis baik oleh pengusaha maupun pemerintah dengan alasan menarik investasi asing. Nyatanya tingkat investasi di negeri ini tidak pernah lebih baik dari Malaysia dan Thailand (jangan bandingkan dengan Singapura!) yang upah buruhnya lebih tinggi. Artinya terdapat instrumen lain yang lebih menentukan dari tingginya tingkat investasi suatu negara.
Instrumen-instrumen yang ramah investasi asing itu diantaranya birokrasi yang efisien, tersedianya fasilitas yang memadai, minim atau tiadanya biaya siluman dan regulasi lain yang memudahkan. Soal biaya siluman saja konon bisa menggerogoti keuangan perusahaan sampai 30%, padahal alokasi untuk menggaji buruh kurang dari 15%.
Upah buruh murah hanya akan dimanfaatkan pebisnis asing untuk mengeksploitasi tenaga buruh dan menjual produknya kembali ke negara asalnya (ekspor). Mereka tidak perlu memikirkan upah buruh memadai karena produknya dijual ke negara yang warganya berdaya beli tinggi. Yang babak belur justru produsen dalam negari yang tidak memiliki orientasi ekspor. Mereka akan dihadapkan pada tingkat daya beli masyarakat yang rendah.
Solusi atas keruwetan hubungan itu terletak pada political will pemerintah. Jika pemerintah mampu menderek penghasilan buruh naik secara optimum dengan tahapan-tahapan yang tepat, dunia usaha justru diuntungkan. Upah memadai bagi 25 juta buruh di Indonesia tentu pasar yang menarik bagi segala macam produk. Kesejahteraan buruh tinggal persoalan waktu belaka.
Upaya ini harus diikuti kebijakan yang pro-produksi. Pemerintah tidak perlu terus menunggu datangnya investasi asing, tapi dapat melakukan investasi sendiri memanfaatkan anggaran negara. Hal ini bukan tidak mungkin. Pemberian gaji ke-13 bagi PNS setiap tahun menyerap anggaran sampai Rp. 18 trilyun. Uang sejumlah itu cukup untuk membangun pabrik skala menengah sejumlah 18.000 buah yang dapat menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
Program industrialisasi nasional akan memutus ketergantungan pada produk asing yang kini kian menggejala. Jangankan mobil, sepeda motor atau telepon seluler, sekedar peniti saja harus diimpor.
Kita lihat perkembangannya saat ini. Kenaikan upah buruh hanya menyamai tingkat inflasi (artinya sama saja). Sampai kiamat sekalipun, buruh tidak akan sejahtera. Untuk membeli mobil seharga seratusan juta rupiah, seorang buruh Indonesia harus bekerja sampai 200 bulan (lebih dari 16 tahun!) tanpa membeli kebutuhan lain.
Kalaupun upah buruh tinggi dianggap sebagai hidup dalam republik mimpi, upah buruh rendah adalah mimpi buruk dalam tidur yang tidak diketahui kapan buruh bisa terjaga.

Agung Suseno Seto, mahasiswa FAI Syariah UMS Surakarta

Artikel: SAATNYA PAHLAWAN PRODUKSI LEBIH DIHARGAI?

Oleh: SUHARNO


Dalam berbagai kesempatan, baik dalam diskusi maupun orasi budaya, penyair “burung merak” W.S. Rendra kerap mengemukakan faktor produksi sebagai ukuran kemajuan bangsa. Bangsa yang lemah dalam hal produksi lemah pula bangsa tersebut. Sebaliknya bangsa akan kuat jika kemampuan produksinya juga tinggi.
Termasuk Indonesia, letak harapan dan kesempatan menjadi bangsa yang makmur tidak boleh mengesampingkan faktor produksi. Sejauh menjadi bangsa yang konsumtif dan malas memproduksi sesuatu, bangsa ini takkan pernah keluar dari krisis multidimensional. Bahkan sekedar bermimpi menjadi bangsa yang sejahtera pun tidak mampu.
Sayangnya, hingga sekarang bangsa ini masih lebih suka mengkonsumsi daripada berproduksi. Apalagi di era konsumerisme dimana mal-mal bertumbuhan dan iklan menggoda hasrat berbelanja, kerja produktif kian jauh dari bayangan seseorang dalam menjalani hidup.
Selagi mampu menghasilkan uang (meskipun dalam segala cara), untuk apa menghasilkan atau memproduksi sesuatu yang berguna dan bernilai. Toh, ukuran kesuksesan masa kini bukan lagi seberapa manfaat prestasi, karya atau produksi yang dihasilkan. Melainkan seberapa canggih ponsel yang bisa dibeli, seberapa mewah perangkat elektronika tersedia dalam rumah, atau seberapa mahal kendaraan yang dinaiki.
Budaya anti-produksi celakanya diperkuat oleh kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Misalnya perlakuan pilih kasih pemerintah terhadap buruh dan pegawai negeri sipil. Setiap tahun PNS menerima gaji ke-13 (di beberapa daerah diberi bonus tambahan oleh pemerintah daerah) dan gaji dinaikkan secara signifikan tiap tahun. Dengan catatan, para PNS cukup duduk manis di balik meja dan menerima kabar baik kenaikan gaji.
Sebaliknya nasib getir harus diterima oleh kaum buruh. Selain upah yang di bawah kebutuhan hidup layak (KHL), untuk memperjuangkan kenaikan upah dan THR harus siap-siap berdemo ramai-ramai. Pengalaman menunjukkan, pemerintah yang semestinya mendukung aspirasi buruh, lebih banyak berperan sebagai “partner” pengusaha.
Lebih menyedihkan lagi, demo yang berarti mengeluarkan tenaga, korban perasaan dan mengandung sejumlah konsekuensi (termasuk ancaman PHK) tidak otomatis merealisasi tuntutan buruh. Namun pilihan pahit harus siap diterima jika buruh diam saja dan tak bersuara sama sekali.
Padahal sumbangsih dan kinerja buruh sama sekali tak kalah dari PNS. Setiap hari buruh bekerja dalam tekanan selama delapan jam. Tidak ada kamus keterlambatan masuk kerja apalagi keluyuran ke tempat-tempat lain selama jam kerja. Toh, kerja lumayan keras itu hanya diberi imbalan yang cuma cukup memperpanjang napas.
Bagi buruh, sangat sulit membayangkan hidup berleha-leha seperti berpesiar di akhir minggu. Jeda tidak bekerja hanyalah untuk mempersiapkan kerja keesokan harinya: menjaga tenaga agar tetap terkumpul, jangan sampai sakit dan mempersetankan perasaan sendiri (bahwa tenaganya diperas tanpa imbalan memadai).
Kondisi seperti ini memperlihatkan buruh sebagai pahlawan produksi. Pahlawan dalam pengertian bersedia bekerja keras dan (dipaksa) bersedia diberi pamrih minimal. Tapi bagaimanapun pahlawan produksi itu tetaplah seorang manusia. Buruh tak berbeda dengan siapapun yang butuh hidup berkecukupan, bermartabat dan bermasa depan.

Belum dihargai
Hari-hari belakangan ini, buruh di Jawa Tengah berharap-harap cemas menanti putusan (tanggal 20 November ini) seberapa besar kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang akan diterima. Kenaikan yang sebenarnya bermakna kosong karena hanya didesain untuk mengimbangi angka inflasi.
Kelompok pengusaha menginginkan kenaikan UMK seimbang laju inflasi tahun 2006 sebesar 7–8%. Mereka mengusulkan kenaikan rata-rata UMK sebesar 6-7% yang berarti lebih rendah atau sama dengan inflasi (Kompas Jateng, 10/11). Sementara kalangan buruh, sederhana saja, menuntut UMK yang disesuaikan dengan nilai KHL masing-masing daerah.
Yang disebut KHL toh bukanlah standar yang mengawang-awang. Sesuai dengan KHL pun, buruh belum sejahtera benar-benar. Di tengah kebutuhan hidup yang terus meningkat, KHL hanyalah standar minimal seorang buruh lajang menjalani hidup harian lumayan normal. Jika benar-benar berhemat, mungkin bisa sedikit menyisihkan penghasilan untuk ditabung.
Pengusaha beralasan atas kondisi perusahaan yang belum pulih benar setelah dihantam kenaikan harga BBM setahun silam dan daya beli masyarakat yang masih rendah. Garis bawah semestinya dialamatkan pada alasan kedua. Daya beli masyarakat yang membaik bukanlah peristiwa tiba-tiba dan dengan sendirinya, melainkan didukung dengan sejumlah upaya dan kebijakan. Daya beli masyarakat (termasuk buruh yang berjumlah puluhan juta orang) semestinya diperbaiki yang salah satunya dengan mengupayakan kenaikan pendapatan buruh yang memadai.
Sejatinya, peran pemerintah sungguh vital. Kalau pun memang tak mampu memberi insentif lebih bagi kebanyakan rakyat dan buruh, setidaknya terdapat iktikad baik dan (iktikad itu) dijalankan bersama-sama. Mengurangi secara siginifikan biaya siluman yang ditarik dari dunia usaha dan mentranfersnya untuk menaikkan UMK sudah lebih dari cukup.
Beberapa pihak meng-asumsi-kan biaya siluman mencapai 15-30% dari total biaya produksi, sementara hanya 10-15% dari biaya produksi yang dikeluarkan untuk memenuhi upah bagi buruh. Hitung-hitungan sederhana, pengalihan biaya siluman untuk upah buruh bisa menaikkan UMK sampai dua kalinya!

Belajar dari Cina
Cina kini menjulang sebagai negara raksasa dan warganya kian makmur dari hari ke hari. Kemajuan negara tersebut didukung oleh kemampuannya dalam berproduksi secara massal. Mereka tak hanya mengandalkan kemampuan perusahaan raksasa yang dimiliki, tetapi juga home industry yang kuat. Bahkan sepeda motor (mocin) yang sempat populer di negeri ini adalah produk industri rumah tangga.
Sebaliknya, Indonesia selalu menunggu kehadiran investasi asing sebagai tolok ukur perbaikan ekonomi. Pemerintah dengan mudah mengucurkan Rp 18 trilyun untuk gaji ke-13 PNS (Rp 1 trilyun untuk pejabat tinggi) dan melupakan bahwa dana sebesar itu sebenarnya dapat mendirikan puluhan ribu home industry sekaligus mempekerjakan ratusan ribu pengangguran.
Parahnya, hadirnya investasi asing diiming-imingi dengan upah buruh yang rendah dan segala kebijakan yang merendahkan klas buruh, sampai kiamat sekalipun pemerintah akan sulit mengapresiasi kepentingan kaum buruh. Upah buruh rendah dianggap sebagai rahmat (dalam mendatangkan investasi) dan bukannya kecenderungan yang harus ditinggalkan.

Penulis adalah Ketua DPC SBSI 92 Kota Surakarta
Anggota LKS Tripartite Kota Surakarta

Perburuhan: Nasib Buruh Dipertaruhkan

Wulan Tri Handayani, Alumni Sosiologi FISIP UNS Surakarta

Setelah sedikit bernapas lega pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005 lalu dan mampu “memaksa” pemerintah menaikkan upah minimum, buruh kembali menghadapi persoalan yang tak kalah pelik. Kali ini adalah upaya pemerintah melalui menteri tenaga kerja merevisi UU bermasalah, UU no. 13/2003 atau terkenal dengan nama UU Ketenagakerjaan (UUK).
Kelahiran UUK sendiri diprotes oleh sejumlah serikat buruh pada waktu pengesahannya. Waktu itu buruh menganggap UUK sebelum revisi mengebiri peran serikat buruh dan menjadikan persoalan buruh sebagai masalah perseorangan buruh dengan pihak perusahaan. Saat ini, UUK akan direvisi, namun bukannya memerbaiki isi yang pernah ditolak oleh serikat buruh, melainkan revisi tersebut justru mempersulit posisi dan nasib buruh yang akan datang.
Menyadari kalau saat ini nasib buruh benar-benar dipertaruhkan, gelombang demonstrasi dilancarkan dalam kekuatan yang belum pernah dikerahkan oleh serikat buruh manapun sebelumnya. Puluhan ribu buruh mengepung istana negara di Jakarta, ribuan lainnya berdemo menyuarakan isu serupa di Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Karanganyar dan Batam.
Para buruh mengancam seandainya tuntutan penolakan revisi tidak dipenuhi akan menggelar mogok nasional. Melihat seriusnya demonstrasi buruh, sepertinya isu mogok massal tersebut bukan main-main. Jika sampai terjadi, selain merupakan “sejarah baru” bagi negeri ini, mogok massal kaum buruh akan melumpuhkan perekonomian nasional.
“Bayangkan kalau jutaan kaum buruh dari seluruh Indonesia mogok kerja dan memilih demo, ribuan pabrik tidak beroperasi, industri jasa tidak beroperasi. Apa ekonomi Indonesia tidak lumpuh? Dari segi politik juga sangat berbahaya,” kata Samiri Sanja, Sekjen Konfederasi SPSI (Wawasan, Kamis, 6/04).

Merugikan Buruh
Isi dari revisi UUK (diklaim oleh Wapres Yusuf Kalla dan Menko Perekonomian Boediono masih sebatas draf yang harus dikonsultasikan terlebih dulu) memang mengerikan bagi buruh. Sejumlah pasal yang melindungi buruh dihapus, dan ditambahkan item-item yang justru amat ditakuti kaum buruh.
Pasal perlindungan yang dihapus diantaranya mengenai kewajiban pemberi kerja melindungi kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik fisik dan mental (Pasal 35 ayat 3). Pasal mengenai diberikannya cuti haid yang besar/panjang untuk buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut juga dihapus.
Pasal-pasal kontroversial lainnya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau dikenal sebagai buruh kontrak yang tak lagi untuk jenis pekerjaan tertentu, melainkan untuk pekerjaan apapun (revisi Pasal 59). Masa kerja maksimum yang berhak mendapatkan pesangon diturunkan dari 9 tahun menjadi 6 tahun (revisi Pasal 156 ayat 2).
Revisi pasal paling “mengerikan” bagi kaum buruh adalah tentang pemberian pesangon (pasal 156 ayat 1). Disebutkan bahwa “Pesangon hanya akan diberikan untuk pekerja yang mempunyai upah di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dengan besaran PTKP Rp. 1,1 juta/bulan”.
Dengan mencermati (draf) revisi di atas, dipastikan para pengusaha mendapat angin surga, sementara bagi buruh sebaliknya. Berdasar pada revisi UUK, kaum pengusaha akan amat mudah mem-PHK buruh tanpa berpikir harus menyediakan pesangon. Bagi buruh, dengan ancaman tiadanya pesangon, adanya batas upah yang bisa diberikan pesangon apabila ter-PHK akan menyurutkan keinginan mereka untuk menaikkan upah. Rata-rata upah minimum sendiri masih di bawah Rp 1 juta/bulan.
Kelonggaran-kelonggaran yang diberikan “gratis” pada kaum pengusaha tersebut dimaksudkan pemerintah untuk memancing investasi masuk ke Indonesia. Argumentasinya, jika upah buruh dibuat murah dan investor tak perlu berpikir mengenai jaminan kesejahteraan dan kesehatan buruh, mereka akan tertarik menanamkan investasi di Indonesia. Mereka juga tak perlu takut bangkrut dan harus menyediakan pesangon yang jumlahnya cukup besar.
Argumentasi ini, secara teoritis, juga akan memberikan kesempatan kerja yang lebih besar. Apabila pengusaha mudah mem-PHK, mereka juga dapat menarik tenaga kerja baru dengan mudah pula. Begitu juga buruh kontrak yang diperluas jenis-jenis pekerjaannya, akan menambah ruang atau lapangan kerja baru.
Peristiwa di Perancis dimana diluncurkan UU yang memudahkan pengusaha memecat buruh di bawah umur 26 tahun juga berprinsip serupa. Namun di luar dugaan, UU yang ditujukan memberikan kesempatan kerja lebih luas bagi kaum muda, malah menimbulkan demonstrasi dan pemogokan nasional.
Apabila dibandingkan, UU baru di Perancis (Kontrak Kerja Pertama/CPE) hanya menyasar pada kelompok muda, sementara UUK untuk semua orang tanpa peduli umur dan jenis kelamin. Artinya, eskalasi UUK lebih massif. Namun, protes di Perancis jauh lebih keras dibandingkan di Indonesia. Dengan perbandingan ini, protes kaum buruh Indonesia sangat mudah dipahami.
Bagi mahasiswa sendiri, UUK memang belum berdampak. Namun setelah lulus, apabila revisi UUK ini gol, peraturan anti-buruh ini akan dirasakan juga. Bayangkan apabila telah bersusah payah mendapatkan pekerjaan, namun tiba-tiba diskors alias di-PHK? Tanpa jaminan adanya pesangon, para pengusaha akan gampang sekali melakukan PHK.

Kapan Sejahtera?
Pengkajian lebih jauh mengenai perburuhan pada alam sekarang dikaitkan dengan pasar bebas dan penerapan kebijakan neoliberalisme. Pasal dalam revisi UUK yang membolehkan tenaga kerja asing bebas berkeliaran di setiap perusahaan dalam negeri adalah hasil dari pasar bebas.
Perluasan jenis PKWT merupakan produk murni neoliberalisme yang dalam istilah asing dikenal dengan singkatan LMF (labour market flexibility). Pengenaan status kontrak pada buruh membebaskan pengusaha untuk memperhatikan dan memenuhi kepentingan buruh. Melalui LMF pula, dibentuk mekanisme tiadanya kemungkinan penaikan upah. Buruh mau bekerja setahun sampai seumur hidup, gajinya sesen pun tidak akan dinaikkan.
Benar apa yang diserukan para buruh bahwa revisi UUK ini bakal melahirkan “perbudakan modern”. Di masa lalu perbudakan meniadakan eksistensi budak dan menjadi milik tuannya, jaman sekarang perbudakan mengalami metamorfosa. Buruh memang bukan milik pengusaha, namun tenaganya sama-sama terperas habis dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memertahankan hidup.
Pemerintah mengklaim revisi UUK ujung-ujungnya untuk kesejahteraan bangsa karena dapat menyediakan lapangan kerja baru. Namun kita akan melihat bahwa revisi UUK dapat berakibat pada pelanggengan kesengsaraan buruh tanpa kemungkinan sedikit pun untuk meraih kesejahteraan memadai.
Disebutkan bahwa upah murah dalam rangka menarik investasi. Namun logikanya, kapan buruh mensejahterakan dirinya dengan upah 500 ribuan/bulan? Investasi sebanyak-banyaknya pun takkan mampu membuat buruh menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana.
Logika upah murah (atau revisi UUK) demi investasi wajib dikaji ulang. Pemerintah perlu mencari alternatif sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan lapangan kerja namun tak usah berpikir untuk menggencet buruh. Toh, setiap orang yang ingin jadi buruh akan berpikir dua kali kalau saat ini menjadi buruh ternyata tanpa jaminan kesejahteraan. Mereka akan lebih memilih terjun di sektor informal, menjadi PKL, pengamen, PRT di luar negeri, pedagang asongan bahkan pengemis.
Pengusaha nasional, Sofyan Wanandi, menyebut biaya siluman mencapai 15% biaya produksi di tiap pabrik di tanah air, sementara pengeluaran untuk menggaji buruh hanya 10 – 15%. Artinya, jika biaya siluman dihapus, akan sangat mudah bagi perusahaan memberi upah lebih layak bagi buruh.
Instrumen lain yang dikeluhkan pengusaha dalam menanamkan investasi lebih banyak di masalah regulasi yang berbelit-belit dan mahal. Kenapa hal-hal semacam ini yang tidak disasar pemerintah untuk diperbaiki? Kenapa buruh yang harus dikorbankan?
Jika dibandingkan negara tetangga, upah buruh kita tidak lebih besar dibandingkan Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam dan China. Toh, negara-negara tersebut memiliki iklim investasi yang lebih memikat investor ketimbang Indonesia. Carilah penyebab komprehensif kenapa iklim investasi negara lain lebih unggul. Tidak semata-mata langsung membebankan pada buruh yang memang sudah miskin-sengsara.

Artikel: Menimbang Besaran UMK

Rudy Hantoro, mantan Sekjen BEM UGM Yogyakarta, kini tinggal di Solo


Koran ini menyampaikan “kabar” yang lumayan menggembirakan, yakni bahwa Upah Minimum Kota (UMK) untuk Semarang dan Surakarta mencapai angka sama dengan angka KHL (Kebutuhan Hidup Layak). UMK tahun 2008 sekaligus KHL masing-masing untuk Semarang adalah Rp. 715.700,00, dan kota Surakarta, Rp. 674.300,00. Sedangkan UMK kota/kabupaten lain masih berada di bawah nilai KHL masing-masing.
Telah lama menjadi tradisi bahwa nilai UMK selalu berbeda dengan KHL. Meskipun ditetapkan oleh lembaga yang sama-sama formal dan diakui keberadaannya oleh pemerintah (Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dan Dewan Pengupahan Provinsi), besaran UMK selalu di bawah angka KHL. Karena itu, sesuatu yang mengejutkan bahwa penyesuaian UMK dengan KHL akhirnya benar-benar terjadi dan tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi.
Menurut Gubernur Jawa Tengah, bahkan, keseluruhan kenaikan UMK di semua kota/kabupaten provinsi ini melampaui angka inflasi. Rata-rata kenaikan UMK mencapai 9,62% dan proporsi terhadap KHL menyentuh 90,10%. Gambaran ini sepintas terlihat sebagai angin segar bagi kaum buruh dalam memperbaiki kesejahteraannya.
Namun ternyata, ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Semarang Nanang Setiyono, besaran UMK yang ditetapkan gubernur belum bias memnuhi kebutuhan hidup buruh secara riil. Mereka pun berniat akan menadakan aksi penolakan terhadap SK Gubernur (Harian Joglosemar, 21 November 2007). Hal ini menyajikan keanehan sekaligus pertanyaan, “apa lagi sebenarnya yang dimaui oleh kaum buruh?”

Tak Otomatis Sejahtera
Meskipun UMK telah disesuaikan KHL, tidak otomatis kaum buruh di kota Semarang dan Surakarta mencapai makna ksejahteraan sesungguhnya. Upah dengan kisaran Rp 700.000,00/bulan sesungguhnya tetaplah sulit bagi seorang buruh untuk mewujudkan kehidupan berkualitas. Di tengah harga-harga kebutuhan yang terus meningkat, nilai Rp. 700-an ribu nyaris kurang bermakna apa-apa.
Sebagai catatan awal, yang disebut sebagai KHL adalah survey Dewan Pengupahan Kota di waktu yang sudah lewat. Artinya nilai KHL kemarin (katakanlah sepanjang tahun 2007) ditetapkan untuk tahun sesudahnya (2008). Tentu saja KHL riil pada 2008 sudah mengalami perubahan, baik oleh inflasi maupun faktor-faktor lain (misalnya ancaman kenaikan BBM internasional yang semakin tak terkendali).
Konsep KHL sendiri bukan bermakna “layak” dalam pengertian sesungguhnya. KHL 2008 mencakup 46 item kebutuhan reguler yang didasarkan pada harga yang murah, bahkan paling murah. Artinya, meskipun telah diistilahkan sebagai bisa hidup layak, pada kenyataannya adalah layak dalam pengertian seadanya.
Di samping itu, nilai KHL sebenarnya berdasarkan kebutuhan hidup untuk buruh laki-laki lajang. Dengan demikian, penetapan UMK mengabaikan posisi dan kondisi buruh perempuan yang berbeda kebutuhannya (dengan buruh laki-laki) maupun buruh berkeluarga yang masih harus menanggung kebutuhan rumah tangga (seperti biaya pendidikan dan kesehatan anak).
Kelayakan upah buruh sebenarnya juga harus diperbandingkan dengan beban kerjanya. Buruh bekerja selama 8 jam sehari, belum termasuk kerja lembur dengan sedikit toleransi adanya keterlambatan masuk kerja. Membolos tentu tidak diperbolehkan dan berbuntut pada pengurangan upah. Kerja seorang buruh pabrik kiranya relatif lebih berat dibandingkan pekerjaan lain.
Ironisnya, jika dibandingkan dengan pendapatan jenis pekerjaan lain, UMK sesuai KHL sekalipun masih terkesan minimal (apalagi dibandingkan dengan gaji PNS!). Sehingga bila tersedia jenis pekerjaan lain, pilihan menjadi buruh tentu dikesampingkan oleh siapapun.
Kenyataan lain yang patut diperhatikan bersama, tingkat kepatuhan pengusaha atas nilai UMK pekerja yang ditetapkan pemerintah tidak seragam dan tidak serta-merta. Cukup banyak kasus pelangaran oleh pihak pengusaha dengan tetap memberikan upah di bawah UMK. Namun dikarenakan posisi pengusaha yang lebih kuat, acapkali ketidakpatuhan ini dibiarkan atau tidak tertangani.
Selain itu, UMK sebenarnya hanya dikenakan untuk pekerja di bawah masa kerja 1 tahun. Di lapangan, UMK ternyata diterapkan untuk seluruh pekerja dengan masa kerja selama apapun. Biasanya memang upah pekerja lama lebih tinggi, tapi dalam jumlah sangat sedikit, hanya untuk memenuhi ketentuan legal-formal.
Maka, pantas dipahami bilamana masih ada suara-suara penolakan atas nilai UMK, meskipun telah setara dengan KHL.

Dimurahkan
Kenapa upah pekerja sejauh ini masih rendah disebabkan warisan kebijakan orde baru. Ini bertemali dengan kebijakan pemerintah yang suka menekan kenaikan harga produk pertanian. Supaya buruh mampu membeli beras, maka harga beras pun harus dibuat murah, kalau perlu impor. Kondisi ini merupakan rangkaian sebab-akibat yang menyebabkan mayoritas buruh dan petani jauh dari kehidupan yang sejahtera.
Buruh memang dikorbankan demi mendatangkan investasi. Untuk mengundang investor, khususnya dari negara asing, upah buruh ditekan. Padahal kehadiran investasi asing tidak semata-mata karena upah buruh yang murah. Jika upah buruh menjadi satu-satunya instrumen, investasi asing tentu akan hadir berbondong-bondong. Nyatanya tidak. Bahkan satu demi satu pabrikan asing hengkang dan memilih tempat berusaha di negara Asia Tenggara yang lain.
Secara logika sekalipun, seandainya banyak investor hadir karena upah buruh yang selalu diupayakan murah, berarti buruh sendiri tidak akan pernah merasakan hasil dari kehadiran investasi asing.
Di luar efek kebijakan pengupahan secara ekonomis, bagi masyarakat, pembiasaan atas upah murah bagi yang bekerja sebagai buruh menumbuhkan anggapan bahwa kerja fisik memang harus dibayar murah. Bekerja sebagai buruh pun diremehkan karena dianggap tidak memerlukan ketrampilan dan pendidikan tinggi.
Secara sosiologis, kita pun seperti diajari untuk menyepelekan pekerjaan fisik dan sekuat tenaga meraih pekerjaan yang sedikit mengeluarkan tenaga namun justru berpenghasilan lebih besar. Makna kerja keras menjadi terdistorsi. Kerja keras dimaknai sebagai cara meraih sebuah pekerjaan, bukan pada saat mulai bekerja.
Tak heran jika berjubelan generasi muda meminang pekerjaan di kantor-kantor pemerintah, namun setelah diterima, mereka bekerja seenaknya sendiri. Apa yang disebut etos kerja sebagai prasyarat kemajuan bangsa, raib begitu saja. Etos kerja diidealisasi, namun praktek di lapangan terjadi ketimpangan beban kerja antara yang bekerja keras namun bergaji kecil dan sebaliknya, pekerjaan ringan justru dibayar mahal.
Kondisi pekerja yang tidak sejahtera inilah yang kiranya akar dari berbagai persoalan bangsa ini. Para petani jelas tidak bisa menaikkan harga komoditas pertaniannya dihadapkan pada upah murah kaum pekerja yang berjumlah puluhan juta orang (ditambah puluhan juta lain orang yang bergantung pada kerja buruh, seperti anak, istri/suami buruh) di kota-kota.
Kemampuan produksi kita semakin berkurang dan kian tergeser oleh negara-negara lain. Industri kurang berkembang oleh keabaian dan kelenaan pemerintah memperbaiki iklim usaha di luar penekanan sistematis terhadap upah buruh. Sementara mereka yang ogah bekerja sebagai buruh, memilih menjadi pedagang kaki lima atau terbang ke negara lain sebagai TKI dan TKW dimana persoalan tak kalah krusialnya telah menunggu.
Jika situasi kebangsaan Indonesia ingin diperbaiki, tak salah kiranya jika langkah paling awal adalah dengan mendorong kesejahteraan kaum pekerja.

Artikel: UMK dan Mimpi Buruh Sejahtera

Oleh: SUHARNO
Ketua DPC SBSI 1992 Kota Surakarta / Anggota LKS Tripartit koat Surakarta


Upah minimum kota (UMK) akan ditetapkan oleh gubernur Jawa Tengah pada 20 November ini. Penetapan didasarkan pada pertimbangan usalan-usulan kota/kabupaten melalui bupati/walikota. UMK kali ini, walikota Jokowi mematok angka Rp. 590 ribu yang disampaikan pada gubernur, atau naik 15,7% dari UMK tahun 2006.
Angka yang diusulkan walikota dicapai melalui proses lumayan panjang dan perdebatan, terutama antara kalangan buruh dan pengusaha. Sebelumnya terdapat lima usulan yang mencerminkan kepentingan masing-masing kelompok.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Surakarta mengusulkan angka Rp 535.500, Serikat Pekerja dan Serikat Buruh (SPSB) Rp 630.000, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Solo Rp 599.214, Badan Pusat Statistik (BPS) Surakarta Rp 561.663, dan dari akademisi Rp 590.000. Angka yang dikantongi walikota kelihatannya berasal dari perhtiungan kalangan akademisi sekaligus mencerminkan sikap akomodatif dari pengusaha-buruh.
Daerah-daerah di sekitar kota Solo yang lebih banyak pabriknya akan melihat angka usulan kota Solo ini. Angka tersebut menjadi patokan dimana UMK daerah-daerah satelit kota Solo “tidak berani” melampauinya. Walhasil usulan dari kantong walikota Jokowi pun menjadi perhatian seluruh buruh dari eks-karesidenan Surakarta.
Kenaikan di atas 15% untuk UMK 2007 tidaklah menunjukkan kondisi sebenarnya. Jumlah itu harus dikurangi angka inflasi yang mencapai 7-8% pada tahun ini, sehingga kenaikan UMK riil pun hanya 7-8% pula. Tidak ada signifikansi berarti dari kenaikan UMK sebesar ini.
Salah satu indikatornya adalah UMK baru (meskipun usulan walikota tidak langsung berarti UMK resmi) masih di bawah angka kebutuhan hidup layak atau KHL sebesar Rp 630.000 (sama dengan usulan serikat buruh). Untuk mencapai kelayakan hidup, buruh tiap bulannya mengalami defisit sekitar Rp 40 ribu. Padahal angka KHL sendiri didasarkan pada kebutuhan buruh lajang.
Maka, seberapapun UMK baru tidak serta-merta membuat kehidupan buruh lebih sejahtera. Bahkan seandainya diputuskan sama dengan keinginan SP/SB sekalipun, kehidupan buruh tidak jadi lebih baik.
Dengan kenaikan tidak seberapa itu, buruh dibatasi kemustahilan-kemustahilan. Mustahil buruh bisa makan enak, plesiran di akhir minggu, membeli kendaraan atau barang elektronik, menyekolahkan anak hingga jenjang yang tinggi atau mengobati dirinya atau kerabat yang sakit parah. Padahal kebutuhan-kebutuhan demikian tidaklah muluk-muluk atau mengada-ada.

Perangkap upah murah
Sejak lama, pemerintahan demi pemerintahan selalu semngorbankan kesejahteraan buruh untuk menopang perekonomian bangsa. Kebijakan upah murah terus menerus diterapkan untuk menarik investasi asing. Meskipun jelas dalam beberapa hal, upah murah bukan satu-satunya faktor.
Negara ini selalu melihat Vietnam dan Cina yang menerapkan kebijakan mirip, tapi menolak melihat negara-negara ASEAN lain, seperti Malaysia, Thailand apalagi Singapura. Ketiga negara terakhir tidak menawarkan upah buruh yang murah, namun mengandalkan iklim usaha yang lebih kondusif, dan sejauh ini terbukti tingkat investasi di negara itu lebih baik dari Indonesia.
Perbandingan dengan Vietnam dan Cina juga tidak proporsional lagi untuk saat ini. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM) Muhammad Lutfi upah buruh di Cina jauh lebih tinggi dari upah buruh di Indonesia, bahkan hingga 60 persen. Bahkan di industri elektronika dan komputer lebih tinggi lagi, yakni hingga 70 persen lebih tinggi.
Keduanya juga kebetulan negara komunis yang menerapkan kebijakan subsidi sosial besar-besaran pada warganya, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Secara umum, kalaupun diupah dengan nilai yang sama atau lebih rendah sedikit, buruh di kedua negara itu menerima lebih banyak dari yang diterima buruh Indonesia.
Saat ini, pemerintahan SBY gencar berkampanye memperbaiki iklim usaha (termasuk pembentukan tim UKP3R yang menghebohkan itu). Namun dengan tetap mengorbankan upah buruh supaya tetap murah, perbaikan iklim usaha tidak menyumbangkan kepentingan apa-apa bagi kaum buruh dan bahkan mayoritas maysarakat Indonesia.
Meskipun butuh penelitian lebih lanjut, namun membandingkan dengan negara-negara tetangga, mungkin kebijakan upah murah justru merupakan pangkal tak langsung dari iklim investasi yang buruk. Beberapa premis berikut setidaknya menjadi gambaran awalnya.
Pertama, upah murah tidak mampu mengurangi inefisieni usaha, baik dari tingkat awal (mulai dari perijinan) sampai ketika usaha itu benar-benar dijalankan. Upah buruh murah memberi legitimasi kepada oknum birokrasi maupun aparat keamanan untuk menarik dana siluman dari pengusaha. Sebaliknya kalangan pengusaha cepat tunduk dari pemerasan illegal ini karena telah dikompensasi upah buruh murah.
Kedua, upah buruh murah semakna dengan daya beli yang rendah. Kemajuan ekonomi Cina tak serta merta karena iklim usaha yang kompetitif, namun juga tingkat daya beli masyarakatnya (mayotitas buruh dan petani) yang meningkat. Dalam hitungan tak lama, seluruh komoditas apapun akan terserap mudah di negara tersebut.
Upah buruh murah tak hanya membuat buruh lemah dalam hal daya belinya, melainkan mengimbas pula ke masyarakat pekerja sektor lain (kecuali PNS). Petani kita juga ditekan agar tidak menjual hasil pertaniannya (terutama beras) melebihi kemampuan kaum buruh perkotaan untuk membelinya. Salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan mengimpor beras yang harganya lebih murah.
Impor beras membuat petani kehilangan kemampuan memasarkan hasil pertaniannya. Walhasil, petani pun mengalami pengurangan daya beli yang signifikan. Lingkaran setan seperti ini menjadikan nasib petani tak lebih baik dari buruh. Padahal jika ditotal, jumlah petani dan buruh adalah mayoritas penduduk Indonesia.
Ketiga, upah buruh murah melahirkan permasalahan urban yang luar biasa pelik. Penghasilan minim dari bekerja di pabrik membuat lebih banyak orang memilih terjun di sektor informal, seperti menjadi PKL, pedagang asongan bahkan pengamen. Meruyaknya jenis-jenis pekerjaan semacam ini sangat tak kondusif bagi perbaikan ekonomi negara secara makro. Negara lambat laun akan kehilangan kemampuannya dalam hal berproduksi dan menjelmakan kita sebagai konsumen semata-mata.
Keempat, upah murah paralel dengan produktivitas rendah. Hal ini bukan semata-mata etos kerja buruh yang rendah. Tanpa perlu pertimbangan cerdas pun, siapapun akan enggan mengeluarkan potensi terbaik dirinya dengan kompensasi yang hanya cukup untuk bertahan hidup. Secara umum, orang sanggup bekerja jauh lebih keras apabila salary yang diperoleh juga memadai.

Kompensasi
Dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan yang membaik, seharusnya memberikan pelajaran (terutama bagi pemerintah) untuk tidak berkutat pada upaya-upaya menekan kepentingan buruh. Salah satunya pula pada masalah pengupahan. Terbukti bahwa pengupahan murah tidak mensejahterakan siapa-siapa, semestinya diintroduksi kebijakan berbeda agar tidak terus-menerus jatuh dalam keadaan yang sama dari waktu ke waktu.
Kompensasi lebih banyak mestinya diterima oleh kalangan buruh dan masyarakat miskin lainnya (ironisnya yang terjadi justru sebaliknya, dimana subsidi BBM dicabut, pendidikan dan kesehatan direncanakan diprivatisasi). Apabila dalam waktu dekat ini pemerintah tak mampu memaksakan UMK yang lebih memadai, semestinya ada program-program untuk buruh guna mengurangi beban penghidupan mereka.
Dua bidang, yakni kesehatan dan pendidikan murah bahkan gratis bagi buruh sudah sangat membantu, sehingga hasil bekerja seluruhnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain. Para buruh ini adalah pahlawan di sektor produksi sehingga wajar memperoleh perlakuan lebih dibanding yang lain.
Atau jika tak ingin menimbulkan rasa iri, seluruh kalangan masyarakat memang mestinya mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan yang murah.

Perburuhan: UMK Baru dan Nasib Buruh Surakarta

Oleh: SUHARNO
Ketua DPC SBSI 92 Kota Surakarta / Anggota LKS Tripartit Kota Surakarta


Di tengah hangat-hangatnya isu kedatangan presiden AS George W. Bush ke Indonesia yang memantik protes dimana-mana itu, minggu-minggu kemarin kalangan buruh sedang berharap-harap cemas. Pasalnya pada saat itu pula (20 November) ditetapkan upah minimum kota/kabupaten (UMK) baru yang direalisasikan pada tahun depan. Meskipun tak berharap terlalu berlebihan, setidaknya kenaikan tersebut dapat mengurangi beban penghidupan yang semakin berat.
Sebagai gambaran awal, UMK Solo tahun 2006 ini sebesar Rp 510.000. Jumlah yang tak bisa dikatakan banyak setelah harga kebutuhan meroket tajam pasca kenaikan BBM setahun silam.
Proses hingga ditetapkannya angka baru UMK tidaklah sederhana, penuh perdebatan dan kerap pula diwarnai demo buruh. Tiga bulan sebelumnya tim survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dibentuk Dewan Pengupahan Daerah telah bekerja. Tim survei mendata sekitar 42 kebutuhan hidup buruh. Untuk kota Solo, angka KHL diperoleh nilai sebesar Rp 636.000.
KHL ini merupakan salah satu syarat atau pertimbangan ditetapkannya besaran UMK yang baru (UU 13 th 2003 mengamanatkan penetapan UMK mengarah KHL). Pertimbangan lainnya adalah tingkat inflasi, keseimbangan upah antar daerah, pergerakan tingkat pengangguran maupun faktor pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah bersangkutan.
Proses penetapan UMK pun melaju dalam jalur berbeda. Buruh, pengusaha dan pemerintah di tiap-tiap daerah bertemu kembali untuk menegosiasikan usulan UMK ke Dewan Pengupahan. Dalam level ini saja, biasanya suara buruh tertelan karena suara pengusaha seringkali diamini oleh pemerintah.
Jika kesepakatan dicapai, angka usulan UMK itu diserahkan ke Dewan Pengupahan Provinsi yang selanjutnya disampaikan ke gubernur untuk ditetapkan. Gubernur memiliki wewenang dalam hal finalisasi keputusan dengan melihat keseimbangan pengupahan antar kabupaten/kota. Rumusnya berlaku, UMK kota/kabupaten Semarang tidak mungkin dilampaui oleh UMK daerah lain. Di Solo, UMK Solo “tidak boleh” lebih kecil dari UMK kabupaten sekitarnya.
Keseimbangan pengupahan itu menjadikan buruh di kabupaten eks karesidenan Surakarta misalnya lebih melihat pada usulan kota Solo ketimbang KHL yang telah ditetapkan sebelumnya di masing-masing kabupaten.
Seperti tahun yang lalu, untuk kasus penetapan usulan UMK Solo, tidak ada kesepakatan di antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Surakarta mengusulkan angka Rp 535.500, Serikat Pekerja dan Serikat Buruh (SPSB) Rp 630.000, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Solo Rp 599.214, Badan Pusat Statistik (BPS) Surakarta Rp 561.663, dan dari akademisi Rp 590.000. Walikota Jokowi sendiri condong pada angka yang diusulkan kalangan akademisi.
Apabila tak ada kesepakatan semacam ini, seluruh usulan akan disampaikan ke Dewan Pengupahan Provinsi yang memiliki wewenang untuk melakukan eksekusi.

Belum Sejahtera
Seberapapun UMK 2007 yang ditetapkan tidak akan membuat buruh lebih sejahtera. Angka tertinggi yang tercermin dalam KHL pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. KHL tidak membuat buruh mampu mengkonsumsi makanan bergizi, biaya sekolah bagi anak-anak (dari buruh yang telah berkeluarga) atau memenuhi biaya rumah sakit jika sewaktu-waktu sakit parah.
KHL sendiri sebenarnya memiliki kelemahan vital. Pertama, penetapan KHL berdasarkan kebutuhan buruh lajang laki-laki, sehingga menafikkan keberadaan dan kebutuhan buruh perempuan yang berbeda atau buruh yang sudah berumah tangga. Kedua, angka KHL yang diperoleh jelas dibawah KHL riil pada saat UMK baru diterapkan atau mengalami keterlambatan selama 0,5-1,5 tahun.
UMK Solo tahun 2007 yang telah ditetapkan sebesar Rp. 590.000. Dengan demikian, setiap buruh akan mengalami “defisit” pengeluaran sekitar minimal Rp. 46 ribu/bulan. Untuk mensiasati kemungkinan tersebut (termasuk terhindar dari jeratan utang), buruh harus makin mengencangkan ikat pinggang, mulai dari mengurangi kebutuhan sampai pada pengurangan kualitas konsumsi belanja.
Harap dicatat, keprihatinan semacam ini berlangsung seandainya tak ada kebijakan baru dari pemerintah yang mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti pencabutan subsidi BBM dan kenaikan tarif listrik. Menteri keuangan telah menggaransi tak ada kenaikan harga BBM sampai pertengahan tahun 2007. Secara eksplisit berarti kenaikan BBM tetap akan terjadi selepas pertengahan tahun depan.
Jika kebijakan kenaikan BBM terjadi, posisi buruh justru makin kesulitan untuk menuntut kenaikan upah. Pihak perusahaan biasanya langsung melontarkan alasan mengalami kesulitan finansial, dan alasan dari mereka selalu lebih diperhatikan pemerintah ketimbang tuntutan buruh.

Program untuk Buruh
Pengalaman mengencangkan ikat pinggang memang bukan hal baru bagi buruh. Namun pengalaman ini bukanlah pembenaran bahwa buruh memang memiliki takdir semacam ini dan harus terus-menerus seperti itu sampai kiamat.
Berkembang stereotip bahwa kehidupan buruh adalah kehidupan yang penuh penderitaan. Stereotip ini sayangnya juga diyakini oleh buruh sendiri sehingga mereka kurang membayangkan kehidupan lebih baik meskipun tetap sebagai buruh. Tiadanya imajinasi hidup lebih sejahtera menjadikan buruh kurang fight dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Harapan, sekecil apapun, ada dan disandarkan pada pemerintah. Jika UMK sepertinya sulit dipaksakan sebesar KHL, semestinya pemerintah memiliki program-program khusus untuk buruh, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Di waktu-waktu mendatang mungkin bisa digagas adanya beasiswa khusus untuk anak-anak dari keluarga buruh.
Sebab toh, kontribusi buruh sama sekali tak bisa disepelakan. Selain (dipaksa) bersedia diupah murah, merekalah yang menjaga produksi tetap lancar sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.