Senin, 16 Februari 2009

Artikel: SAATNYA PAHLAWAN PRODUKSI LEBIH DIHARGAI?

Oleh: SUHARNO


Dalam berbagai kesempatan, baik dalam diskusi maupun orasi budaya, penyair “burung merak” W.S. Rendra kerap mengemukakan faktor produksi sebagai ukuran kemajuan bangsa. Bangsa yang lemah dalam hal produksi lemah pula bangsa tersebut. Sebaliknya bangsa akan kuat jika kemampuan produksinya juga tinggi.
Termasuk Indonesia, letak harapan dan kesempatan menjadi bangsa yang makmur tidak boleh mengesampingkan faktor produksi. Sejauh menjadi bangsa yang konsumtif dan malas memproduksi sesuatu, bangsa ini takkan pernah keluar dari krisis multidimensional. Bahkan sekedar bermimpi menjadi bangsa yang sejahtera pun tidak mampu.
Sayangnya, hingga sekarang bangsa ini masih lebih suka mengkonsumsi daripada berproduksi. Apalagi di era konsumerisme dimana mal-mal bertumbuhan dan iklan menggoda hasrat berbelanja, kerja produktif kian jauh dari bayangan seseorang dalam menjalani hidup.
Selagi mampu menghasilkan uang (meskipun dalam segala cara), untuk apa menghasilkan atau memproduksi sesuatu yang berguna dan bernilai. Toh, ukuran kesuksesan masa kini bukan lagi seberapa manfaat prestasi, karya atau produksi yang dihasilkan. Melainkan seberapa canggih ponsel yang bisa dibeli, seberapa mewah perangkat elektronika tersedia dalam rumah, atau seberapa mahal kendaraan yang dinaiki.
Budaya anti-produksi celakanya diperkuat oleh kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Misalnya perlakuan pilih kasih pemerintah terhadap buruh dan pegawai negeri sipil. Setiap tahun PNS menerima gaji ke-13 (di beberapa daerah diberi bonus tambahan oleh pemerintah daerah) dan gaji dinaikkan secara signifikan tiap tahun. Dengan catatan, para PNS cukup duduk manis di balik meja dan menerima kabar baik kenaikan gaji.
Sebaliknya nasib getir harus diterima oleh kaum buruh. Selain upah yang di bawah kebutuhan hidup layak (KHL), untuk memperjuangkan kenaikan upah dan THR harus siap-siap berdemo ramai-ramai. Pengalaman menunjukkan, pemerintah yang semestinya mendukung aspirasi buruh, lebih banyak berperan sebagai “partner” pengusaha.
Lebih menyedihkan lagi, demo yang berarti mengeluarkan tenaga, korban perasaan dan mengandung sejumlah konsekuensi (termasuk ancaman PHK) tidak otomatis merealisasi tuntutan buruh. Namun pilihan pahit harus siap diterima jika buruh diam saja dan tak bersuara sama sekali.
Padahal sumbangsih dan kinerja buruh sama sekali tak kalah dari PNS. Setiap hari buruh bekerja dalam tekanan selama delapan jam. Tidak ada kamus keterlambatan masuk kerja apalagi keluyuran ke tempat-tempat lain selama jam kerja. Toh, kerja lumayan keras itu hanya diberi imbalan yang cuma cukup memperpanjang napas.
Bagi buruh, sangat sulit membayangkan hidup berleha-leha seperti berpesiar di akhir minggu. Jeda tidak bekerja hanyalah untuk mempersiapkan kerja keesokan harinya: menjaga tenaga agar tetap terkumpul, jangan sampai sakit dan mempersetankan perasaan sendiri (bahwa tenaganya diperas tanpa imbalan memadai).
Kondisi seperti ini memperlihatkan buruh sebagai pahlawan produksi. Pahlawan dalam pengertian bersedia bekerja keras dan (dipaksa) bersedia diberi pamrih minimal. Tapi bagaimanapun pahlawan produksi itu tetaplah seorang manusia. Buruh tak berbeda dengan siapapun yang butuh hidup berkecukupan, bermartabat dan bermasa depan.

Belum dihargai
Hari-hari belakangan ini, buruh di Jawa Tengah berharap-harap cemas menanti putusan (tanggal 20 November ini) seberapa besar kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang akan diterima. Kenaikan yang sebenarnya bermakna kosong karena hanya didesain untuk mengimbangi angka inflasi.
Kelompok pengusaha menginginkan kenaikan UMK seimbang laju inflasi tahun 2006 sebesar 7–8%. Mereka mengusulkan kenaikan rata-rata UMK sebesar 6-7% yang berarti lebih rendah atau sama dengan inflasi (Kompas Jateng, 10/11). Sementara kalangan buruh, sederhana saja, menuntut UMK yang disesuaikan dengan nilai KHL masing-masing daerah.
Yang disebut KHL toh bukanlah standar yang mengawang-awang. Sesuai dengan KHL pun, buruh belum sejahtera benar-benar. Di tengah kebutuhan hidup yang terus meningkat, KHL hanyalah standar minimal seorang buruh lajang menjalani hidup harian lumayan normal. Jika benar-benar berhemat, mungkin bisa sedikit menyisihkan penghasilan untuk ditabung.
Pengusaha beralasan atas kondisi perusahaan yang belum pulih benar setelah dihantam kenaikan harga BBM setahun silam dan daya beli masyarakat yang masih rendah. Garis bawah semestinya dialamatkan pada alasan kedua. Daya beli masyarakat yang membaik bukanlah peristiwa tiba-tiba dan dengan sendirinya, melainkan didukung dengan sejumlah upaya dan kebijakan. Daya beli masyarakat (termasuk buruh yang berjumlah puluhan juta orang) semestinya diperbaiki yang salah satunya dengan mengupayakan kenaikan pendapatan buruh yang memadai.
Sejatinya, peran pemerintah sungguh vital. Kalau pun memang tak mampu memberi insentif lebih bagi kebanyakan rakyat dan buruh, setidaknya terdapat iktikad baik dan (iktikad itu) dijalankan bersama-sama. Mengurangi secara siginifikan biaya siluman yang ditarik dari dunia usaha dan mentranfersnya untuk menaikkan UMK sudah lebih dari cukup.
Beberapa pihak meng-asumsi-kan biaya siluman mencapai 15-30% dari total biaya produksi, sementara hanya 10-15% dari biaya produksi yang dikeluarkan untuk memenuhi upah bagi buruh. Hitung-hitungan sederhana, pengalihan biaya siluman untuk upah buruh bisa menaikkan UMK sampai dua kalinya!

Belajar dari Cina
Cina kini menjulang sebagai negara raksasa dan warganya kian makmur dari hari ke hari. Kemajuan negara tersebut didukung oleh kemampuannya dalam berproduksi secara massal. Mereka tak hanya mengandalkan kemampuan perusahaan raksasa yang dimiliki, tetapi juga home industry yang kuat. Bahkan sepeda motor (mocin) yang sempat populer di negeri ini adalah produk industri rumah tangga.
Sebaliknya, Indonesia selalu menunggu kehadiran investasi asing sebagai tolok ukur perbaikan ekonomi. Pemerintah dengan mudah mengucurkan Rp 18 trilyun untuk gaji ke-13 PNS (Rp 1 trilyun untuk pejabat tinggi) dan melupakan bahwa dana sebesar itu sebenarnya dapat mendirikan puluhan ribu home industry sekaligus mempekerjakan ratusan ribu pengangguran.
Parahnya, hadirnya investasi asing diiming-imingi dengan upah buruh yang rendah dan segala kebijakan yang merendahkan klas buruh, sampai kiamat sekalipun pemerintah akan sulit mengapresiasi kepentingan kaum buruh. Upah buruh rendah dianggap sebagai rahmat (dalam mendatangkan investasi) dan bukannya kecenderungan yang harus ditinggalkan.

Penulis adalah Ketua DPC SBSI 92 Kota Surakarta
Anggota LKS Tripartite Kota Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar