Senin, 16 Februari 2009

Perburuhan: UMK Baru dan Nasib Buruh Surakarta

Oleh: SUHARNO
Ketua DPC SBSI 92 Kota Surakarta / Anggota LKS Tripartit Kota Surakarta


Di tengah hangat-hangatnya isu kedatangan presiden AS George W. Bush ke Indonesia yang memantik protes dimana-mana itu, minggu-minggu kemarin kalangan buruh sedang berharap-harap cemas. Pasalnya pada saat itu pula (20 November) ditetapkan upah minimum kota/kabupaten (UMK) baru yang direalisasikan pada tahun depan. Meskipun tak berharap terlalu berlebihan, setidaknya kenaikan tersebut dapat mengurangi beban penghidupan yang semakin berat.
Sebagai gambaran awal, UMK Solo tahun 2006 ini sebesar Rp 510.000. Jumlah yang tak bisa dikatakan banyak setelah harga kebutuhan meroket tajam pasca kenaikan BBM setahun silam.
Proses hingga ditetapkannya angka baru UMK tidaklah sederhana, penuh perdebatan dan kerap pula diwarnai demo buruh. Tiga bulan sebelumnya tim survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dibentuk Dewan Pengupahan Daerah telah bekerja. Tim survei mendata sekitar 42 kebutuhan hidup buruh. Untuk kota Solo, angka KHL diperoleh nilai sebesar Rp 636.000.
KHL ini merupakan salah satu syarat atau pertimbangan ditetapkannya besaran UMK yang baru (UU 13 th 2003 mengamanatkan penetapan UMK mengarah KHL). Pertimbangan lainnya adalah tingkat inflasi, keseimbangan upah antar daerah, pergerakan tingkat pengangguran maupun faktor pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah bersangkutan.
Proses penetapan UMK pun melaju dalam jalur berbeda. Buruh, pengusaha dan pemerintah di tiap-tiap daerah bertemu kembali untuk menegosiasikan usulan UMK ke Dewan Pengupahan. Dalam level ini saja, biasanya suara buruh tertelan karena suara pengusaha seringkali diamini oleh pemerintah.
Jika kesepakatan dicapai, angka usulan UMK itu diserahkan ke Dewan Pengupahan Provinsi yang selanjutnya disampaikan ke gubernur untuk ditetapkan. Gubernur memiliki wewenang dalam hal finalisasi keputusan dengan melihat keseimbangan pengupahan antar kabupaten/kota. Rumusnya berlaku, UMK kota/kabupaten Semarang tidak mungkin dilampaui oleh UMK daerah lain. Di Solo, UMK Solo “tidak boleh” lebih kecil dari UMK kabupaten sekitarnya.
Keseimbangan pengupahan itu menjadikan buruh di kabupaten eks karesidenan Surakarta misalnya lebih melihat pada usulan kota Solo ketimbang KHL yang telah ditetapkan sebelumnya di masing-masing kabupaten.
Seperti tahun yang lalu, untuk kasus penetapan usulan UMK Solo, tidak ada kesepakatan di antara buruh, pengusaha dan pemerintah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Surakarta mengusulkan angka Rp 535.500, Serikat Pekerja dan Serikat Buruh (SPSB) Rp 630.000, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Solo Rp 599.214, Badan Pusat Statistik (BPS) Surakarta Rp 561.663, dan dari akademisi Rp 590.000. Walikota Jokowi sendiri condong pada angka yang diusulkan kalangan akademisi.
Apabila tak ada kesepakatan semacam ini, seluruh usulan akan disampaikan ke Dewan Pengupahan Provinsi yang memiliki wewenang untuk melakukan eksekusi.

Belum Sejahtera
Seberapapun UMK 2007 yang ditetapkan tidak akan membuat buruh lebih sejahtera. Angka tertinggi yang tercermin dalam KHL pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. KHL tidak membuat buruh mampu mengkonsumsi makanan bergizi, biaya sekolah bagi anak-anak (dari buruh yang telah berkeluarga) atau memenuhi biaya rumah sakit jika sewaktu-waktu sakit parah.
KHL sendiri sebenarnya memiliki kelemahan vital. Pertama, penetapan KHL berdasarkan kebutuhan buruh lajang laki-laki, sehingga menafikkan keberadaan dan kebutuhan buruh perempuan yang berbeda atau buruh yang sudah berumah tangga. Kedua, angka KHL yang diperoleh jelas dibawah KHL riil pada saat UMK baru diterapkan atau mengalami keterlambatan selama 0,5-1,5 tahun.
UMK Solo tahun 2007 yang telah ditetapkan sebesar Rp. 590.000. Dengan demikian, setiap buruh akan mengalami “defisit” pengeluaran sekitar minimal Rp. 46 ribu/bulan. Untuk mensiasati kemungkinan tersebut (termasuk terhindar dari jeratan utang), buruh harus makin mengencangkan ikat pinggang, mulai dari mengurangi kebutuhan sampai pada pengurangan kualitas konsumsi belanja.
Harap dicatat, keprihatinan semacam ini berlangsung seandainya tak ada kebijakan baru dari pemerintah yang mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti pencabutan subsidi BBM dan kenaikan tarif listrik. Menteri keuangan telah menggaransi tak ada kenaikan harga BBM sampai pertengahan tahun 2007. Secara eksplisit berarti kenaikan BBM tetap akan terjadi selepas pertengahan tahun depan.
Jika kebijakan kenaikan BBM terjadi, posisi buruh justru makin kesulitan untuk menuntut kenaikan upah. Pihak perusahaan biasanya langsung melontarkan alasan mengalami kesulitan finansial, dan alasan dari mereka selalu lebih diperhatikan pemerintah ketimbang tuntutan buruh.

Program untuk Buruh
Pengalaman mengencangkan ikat pinggang memang bukan hal baru bagi buruh. Namun pengalaman ini bukanlah pembenaran bahwa buruh memang memiliki takdir semacam ini dan harus terus-menerus seperti itu sampai kiamat.
Berkembang stereotip bahwa kehidupan buruh adalah kehidupan yang penuh penderitaan. Stereotip ini sayangnya juga diyakini oleh buruh sendiri sehingga mereka kurang membayangkan kehidupan lebih baik meskipun tetap sebagai buruh. Tiadanya imajinasi hidup lebih sejahtera menjadikan buruh kurang fight dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Harapan, sekecil apapun, ada dan disandarkan pada pemerintah. Jika UMK sepertinya sulit dipaksakan sebesar KHL, semestinya pemerintah memiliki program-program khusus untuk buruh, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Di waktu-waktu mendatang mungkin bisa digagas adanya beasiswa khusus untuk anak-anak dari keluarga buruh.
Sebab toh, kontribusi buruh sama sekali tak bisa disepelakan. Selain (dipaksa) bersedia diupah murah, merekalah yang menjaga produksi tetap lancar sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar