Senin, 16 Februari 2009

Perburuhan: Nasib Buruh Dipertaruhkan

Wulan Tri Handayani, Alumni Sosiologi FISIP UNS Surakarta

Setelah sedikit bernapas lega pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005 lalu dan mampu “memaksa” pemerintah menaikkan upah minimum, buruh kembali menghadapi persoalan yang tak kalah pelik. Kali ini adalah upaya pemerintah melalui menteri tenaga kerja merevisi UU bermasalah, UU no. 13/2003 atau terkenal dengan nama UU Ketenagakerjaan (UUK).
Kelahiran UUK sendiri diprotes oleh sejumlah serikat buruh pada waktu pengesahannya. Waktu itu buruh menganggap UUK sebelum revisi mengebiri peran serikat buruh dan menjadikan persoalan buruh sebagai masalah perseorangan buruh dengan pihak perusahaan. Saat ini, UUK akan direvisi, namun bukannya memerbaiki isi yang pernah ditolak oleh serikat buruh, melainkan revisi tersebut justru mempersulit posisi dan nasib buruh yang akan datang.
Menyadari kalau saat ini nasib buruh benar-benar dipertaruhkan, gelombang demonstrasi dilancarkan dalam kekuatan yang belum pernah dikerahkan oleh serikat buruh manapun sebelumnya. Puluhan ribu buruh mengepung istana negara di Jakarta, ribuan lainnya berdemo menyuarakan isu serupa di Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Karanganyar dan Batam.
Para buruh mengancam seandainya tuntutan penolakan revisi tidak dipenuhi akan menggelar mogok nasional. Melihat seriusnya demonstrasi buruh, sepertinya isu mogok massal tersebut bukan main-main. Jika sampai terjadi, selain merupakan “sejarah baru” bagi negeri ini, mogok massal kaum buruh akan melumpuhkan perekonomian nasional.
“Bayangkan kalau jutaan kaum buruh dari seluruh Indonesia mogok kerja dan memilih demo, ribuan pabrik tidak beroperasi, industri jasa tidak beroperasi. Apa ekonomi Indonesia tidak lumpuh? Dari segi politik juga sangat berbahaya,” kata Samiri Sanja, Sekjen Konfederasi SPSI (Wawasan, Kamis, 6/04).

Merugikan Buruh
Isi dari revisi UUK (diklaim oleh Wapres Yusuf Kalla dan Menko Perekonomian Boediono masih sebatas draf yang harus dikonsultasikan terlebih dulu) memang mengerikan bagi buruh. Sejumlah pasal yang melindungi buruh dihapus, dan ditambahkan item-item yang justru amat ditakuti kaum buruh.
Pasal perlindungan yang dihapus diantaranya mengenai kewajiban pemberi kerja melindungi kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik fisik dan mental (Pasal 35 ayat 3). Pasal mengenai diberikannya cuti haid yang besar/panjang untuk buruh yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut juga dihapus.
Pasal-pasal kontroversial lainnya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau dikenal sebagai buruh kontrak yang tak lagi untuk jenis pekerjaan tertentu, melainkan untuk pekerjaan apapun (revisi Pasal 59). Masa kerja maksimum yang berhak mendapatkan pesangon diturunkan dari 9 tahun menjadi 6 tahun (revisi Pasal 156 ayat 2).
Revisi pasal paling “mengerikan” bagi kaum buruh adalah tentang pemberian pesangon (pasal 156 ayat 1). Disebutkan bahwa “Pesangon hanya akan diberikan untuk pekerja yang mempunyai upah di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dengan besaran PTKP Rp. 1,1 juta/bulan”.
Dengan mencermati (draf) revisi di atas, dipastikan para pengusaha mendapat angin surga, sementara bagi buruh sebaliknya. Berdasar pada revisi UUK, kaum pengusaha akan amat mudah mem-PHK buruh tanpa berpikir harus menyediakan pesangon. Bagi buruh, dengan ancaman tiadanya pesangon, adanya batas upah yang bisa diberikan pesangon apabila ter-PHK akan menyurutkan keinginan mereka untuk menaikkan upah. Rata-rata upah minimum sendiri masih di bawah Rp 1 juta/bulan.
Kelonggaran-kelonggaran yang diberikan “gratis” pada kaum pengusaha tersebut dimaksudkan pemerintah untuk memancing investasi masuk ke Indonesia. Argumentasinya, jika upah buruh dibuat murah dan investor tak perlu berpikir mengenai jaminan kesejahteraan dan kesehatan buruh, mereka akan tertarik menanamkan investasi di Indonesia. Mereka juga tak perlu takut bangkrut dan harus menyediakan pesangon yang jumlahnya cukup besar.
Argumentasi ini, secara teoritis, juga akan memberikan kesempatan kerja yang lebih besar. Apabila pengusaha mudah mem-PHK, mereka juga dapat menarik tenaga kerja baru dengan mudah pula. Begitu juga buruh kontrak yang diperluas jenis-jenis pekerjaannya, akan menambah ruang atau lapangan kerja baru.
Peristiwa di Perancis dimana diluncurkan UU yang memudahkan pengusaha memecat buruh di bawah umur 26 tahun juga berprinsip serupa. Namun di luar dugaan, UU yang ditujukan memberikan kesempatan kerja lebih luas bagi kaum muda, malah menimbulkan demonstrasi dan pemogokan nasional.
Apabila dibandingkan, UU baru di Perancis (Kontrak Kerja Pertama/CPE) hanya menyasar pada kelompok muda, sementara UUK untuk semua orang tanpa peduli umur dan jenis kelamin. Artinya, eskalasi UUK lebih massif. Namun, protes di Perancis jauh lebih keras dibandingkan di Indonesia. Dengan perbandingan ini, protes kaum buruh Indonesia sangat mudah dipahami.
Bagi mahasiswa sendiri, UUK memang belum berdampak. Namun setelah lulus, apabila revisi UUK ini gol, peraturan anti-buruh ini akan dirasakan juga. Bayangkan apabila telah bersusah payah mendapatkan pekerjaan, namun tiba-tiba diskors alias di-PHK? Tanpa jaminan adanya pesangon, para pengusaha akan gampang sekali melakukan PHK.

Kapan Sejahtera?
Pengkajian lebih jauh mengenai perburuhan pada alam sekarang dikaitkan dengan pasar bebas dan penerapan kebijakan neoliberalisme. Pasal dalam revisi UUK yang membolehkan tenaga kerja asing bebas berkeliaran di setiap perusahaan dalam negeri adalah hasil dari pasar bebas.
Perluasan jenis PKWT merupakan produk murni neoliberalisme yang dalam istilah asing dikenal dengan singkatan LMF (labour market flexibility). Pengenaan status kontrak pada buruh membebaskan pengusaha untuk memperhatikan dan memenuhi kepentingan buruh. Melalui LMF pula, dibentuk mekanisme tiadanya kemungkinan penaikan upah. Buruh mau bekerja setahun sampai seumur hidup, gajinya sesen pun tidak akan dinaikkan.
Benar apa yang diserukan para buruh bahwa revisi UUK ini bakal melahirkan “perbudakan modern”. Di masa lalu perbudakan meniadakan eksistensi budak dan menjadi milik tuannya, jaman sekarang perbudakan mengalami metamorfosa. Buruh memang bukan milik pengusaha, namun tenaganya sama-sama terperas habis dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memertahankan hidup.
Pemerintah mengklaim revisi UUK ujung-ujungnya untuk kesejahteraan bangsa karena dapat menyediakan lapangan kerja baru. Namun kita akan melihat bahwa revisi UUK dapat berakibat pada pelanggengan kesengsaraan buruh tanpa kemungkinan sedikit pun untuk meraih kesejahteraan memadai.
Disebutkan bahwa upah murah dalam rangka menarik investasi. Namun logikanya, kapan buruh mensejahterakan dirinya dengan upah 500 ribuan/bulan? Investasi sebanyak-banyaknya pun takkan mampu membuat buruh menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana.
Logika upah murah (atau revisi UUK) demi investasi wajib dikaji ulang. Pemerintah perlu mencari alternatif sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan lapangan kerja namun tak usah berpikir untuk menggencet buruh. Toh, setiap orang yang ingin jadi buruh akan berpikir dua kali kalau saat ini menjadi buruh ternyata tanpa jaminan kesejahteraan. Mereka akan lebih memilih terjun di sektor informal, menjadi PKL, pengamen, PRT di luar negeri, pedagang asongan bahkan pengemis.
Pengusaha nasional, Sofyan Wanandi, menyebut biaya siluman mencapai 15% biaya produksi di tiap pabrik di tanah air, sementara pengeluaran untuk menggaji buruh hanya 10 – 15%. Artinya, jika biaya siluman dihapus, akan sangat mudah bagi perusahaan memberi upah lebih layak bagi buruh.
Instrumen lain yang dikeluhkan pengusaha dalam menanamkan investasi lebih banyak di masalah regulasi yang berbelit-belit dan mahal. Kenapa hal-hal semacam ini yang tidak disasar pemerintah untuk diperbaiki? Kenapa buruh yang harus dikorbankan?
Jika dibandingkan negara tetangga, upah buruh kita tidak lebih besar dibandingkan Malaysia, Thailand, Filipina bahkan Vietnam dan China. Toh, negara-negara tersebut memiliki iklim investasi yang lebih memikat investor ketimbang Indonesia. Carilah penyebab komprehensif kenapa iklim investasi negara lain lebih unggul. Tidak semata-mata langsung membebankan pada buruh yang memang sudah miskin-sengsara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar