Senin, 16 Februari 2009

Perburuhan: PHK MENGANCAM SEMUA

Oleh: Joko Sumantri, aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Surakarta


Hari demi hari berlalu, ancaman PHK bukan lagi hanya isu. Berita-beritanya telah menyebar. PHK di sana-sini telah dijatuhkan. Di Boyolali, 2 ribuan pekerja telah mengalaminya (Joglolsemar, 24/11). Perkiraan-perkiraan dalam setahun ke depan, mengisyaratkan situasi muram yang mungkin lebih mengkhawatirkan dari yang kita kira.
Perkembangan saat ini me-negasi opini-opini positif para ekonom dan pejabat pada awal krisis finansial global (kira-kira satu sampai dua bulan lalu). Saat itu banyak dari mereka yang mengklaim fundamental negara ini cukup kuat dalam menghadapi krisis global. Tidak adanya perbankan lokal yang tersangkut jejaring finansial AS yang kusut menguatkan anggapan ini.
Nyatanya, globalisasi ekonomi saat ini menjadikan tak ada satu negara pun yang kebal dari krisis manakala negara lain mengalaminya. Pada kondisi sekarang, krisis diperparah oleh keadaan bahwa krisis terjadi di jantung kapitalisme dunia.
Pertumbuhan ekonomi AS selama ini ditunjang oleh tingkat konsumsi. Tidak heran jika segala konsumsi berbagai kebutuhan, AS selalu nomer satu. Dari tekstil, elektronik, mobil hingga energi, konsumsi total warga AS hanya bisa ditandingi oleh konsumsi total warga dunia non-AS.
Maka ketika AS mengalami krisis yang bermula dari kredit perumahan ini, dimana tingkat konsumsi warganya mendadak melorot tajam, negara manapun segera mengalami kesulitan serupa. Belakangan, kecenderungan ini merambah ke Indonesia. Banyak perusahaan kesulitan mempertahankan order tersebab buyer di Amerika menghentikan pembeliaan.
PHK massal maupun perumahan karyawan hanyalah fenomena ikutan yang mau tak mau bakal terjadi, terutama jika tidak ada campur tangan pemerintah sama sekali.
Pemerintah memang bereaksi dengan mengeluarkan SKB 4 Menteri yang membatasi kenaikan upah pekerja kurang dari pertumbuhan ekonomi nasional (6%). Alasannya sederhana, pembatasan kenaikan upah meringankan beban pengusaha sehingga tak perlu mem-PHK karyawannya. Namun, dalam jangka panjang kita akan melihat bahwa kebijakan ini justru kontraproduktif dan mengarahkan negara ini pada stagnasi ekonomi.

Kepentingan Bersama
SKB 4 Menteri tidak akan banyak membantu sebab persoalan krisis tidak disebabkan oleh besaran upah buruh. Apalagi upah buruh di negeri ini sama sekali tidak besar. Sehingga kebijakan pemerintah tersebut seakan menimpakan hukuman pada buruh, padahal kesalahan atau kekeliruan dilakukan oleh kelompok pemodal, spekulan dan dalam beberapa hal juga pengusaha.
Proses PHK akan terus berjalan, terutama karena pabrik-pabrik kita banyak yang berorientasi ekspor. Upaya memperkuat pasar dalam negeri, seperti yang ditekadkan oleh Presiden SBY, berbenturan daya beli masyarakat yang rendah dan penguasaan pasar dalam negeri oleh produk-produk asing. Dan rendahnya daya beli masyarakat disebabkan pengaturan upah pekerja murah dan nilai tukar petani yang rendah!
PHK massal kian membenamkan negeri ini dalam kubangan persoalan. Pekerja ter-PHK bukan hanya berdaya beli rendah, melainkan nol atau nihil sama sekali. Tanpa penghasilan, seseorang tidak mungkin berkonsumsi atau konsumsinya terbatas pada tindak bertahan hidup yang diperoleh dari belas kasih kerabat.
Tingkat pengangguran tinggi, dengan demikian makin mengepras daya beli masyarakat pada tingkat sangat rendah. Indeks konsumai segera menurun tajam dan menghantam tingkat produksi. Ketika pasar dalam negeri pun tak bisa diandalkan, perusahaan-perusahaan bakal kian berlomba-lomba mem-PHK karyawan untuk menyelamatkan kondisi keuangannya masing-masing.
Banyak hal buruk ketika PHK massal dibiarkan. Sebagian pekerja akan beralih kerja, terutama membuka warung semacam PKL yang memacetkan jalan-jalan, menjelma pengamen bahkan pengemis dan gelandangan. Kota-kota yang selama ini sudah kewalahan menangani persoalan-persoalan tersebut, bakal tambah kerepotan dan mungkin menyerah menghadapi membludaknya problem-problem urban ini.
Sebagian kecil pekerja ter-PHK terpaksa terlibat dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat dan menambah beban kepolisian.

Nasionalisasi?
Adakah jalan keluar dari ancaman PHK massal di masa yang tidak lama lagi dari sekarang?
Upaya pemerintah memperkuat pasar dalam negeri sudah tepat, namun harus diikuti serangkaian kebijakan penunjang. Pasar dalam negeri terutama harus dilindungi dari serbuan produk asing sehingga produk nasional mendapat keleluasaan gerak.
Belanja pemerintah harus diarahkan untuk produk dalam negeri, selain harus dihemat dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan semu (seperti pengadaan inventaris kantor tiap ganti anggaran, pembelian mobil mewah dan pemenuhan fasilitas berlebihan lainnya bagi pejabat).
Selain itu, daya beli masyarakat harus dijaga agar mampu menyerap produk dalam negeri. Sehingga justru harus disiapkan skema peningkatan upah buruh dan nilai tukar petani yang signifikan, meskipun tetap harus terkendali.
Menghadapi PHK, nasionalisasi pabrik-pabrik yang terancam tutup perlu dipertimbangkan. Selama ini wacana nasionalisasi hanya berhembus pada BUMN yang terprivatisasi atau bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang cenderung padat modal.
Pengambilalihan pabrik yang ditinggal investor justru jauh lebih srategis. Biaya yang dikeluarkan cenderung tidak besar (dibanding buy back saham ataupun penyelamatan bank yang bisa bernilai ratusan trilyun). Upaya ini akan mempertahankan produksi disamping mencegah PHK massal.
Toh, nasionalisasi korporasi bukan hal yang tabu lagi. Biangnya kapitalisme, Amerika Serikat, sudah menyuntikkan dana ratusan milyar dollar kepada sejumlah perusahaan. Yang berarti pemerintah AS saat ini memiliki sejumlah perusahaan yang dulunya milik swasta (misalnya pemerintah AS sekarang adalah operator perusahaan asuransi terbesar di dunia, AIG).
Jika dimungkinkan, pemerintah bahkan harus mulai memperkuat industri nasional dan mengambil kebijakan substitusi impor. Pabrik-pabrik baru perlu dibangun guna memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang selama ini dicukupi produk impor yang menyabot dana masyarakat berpindah ke luar negeri secara besar-besaran.
Menghadapi problem-problem luar biasa di masa datang, kiranya memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar