Senin, 16 Februari 2009

Politik: JIKA ARTIS BERPOLITIK

Joko Sumantri, Anggota PRP Solo

Fenomena artis, selebriti atau penghibur dalam panggung politik bukanlah khas Indonesia. Negara adidaya AS mengenal gubernur sekaligus aktor Arnold Schwarzenegger dan bahkan Ronald Reagan, bintang film yang tak terlalu bersinar tapi malah menjadi presiden paling terkenal dalam sejarah AS. Politisi artis juga dikenal di negara tetangga Filipina dan di sejumlah negera di Amerika Latin.
Yang membedakannya adalah kehadiran politisi artis di negeri ini sudah terlalu banyak atau mengalami inflasi. Nyaris setiap parpol “memiliki” artis-artis jagoannya, entah sekedar pendukung dalam kampanye, calon legislatif sampai calon kepala daerah. Dan menariknya, menjelang Pemilu 2009, para artis ini kian memenuhi daftar kontestasi politik dari level daerah hingga pusat.
Pemicu fenomena artis berpolitik adalah kemenangan sensasional Dede Yusuf sebagai wakil gubernur Jawa Barat dalam pilkada beberapa waktu lalu, juga Rano Karno sebagai wakil walikota Tangerang. Beberapa nama akan bertarung, seperti aktor Anwar Fuady, presenter Helmy Yahya sampai penyanyi dangdut Syaiful Jamil di sebuah pilkada di Jabar.
Sebelumnya, peta politik Indonesia sebenarnya sudah ramai oleh keterlibatan sejumlah selebriti, seperti Nurul Arifin (Golkar), Marissa Haque (cawagub Banten), Rieke Dyah Pitaloka (PKB kini ke PDI-P), Wanda Hamidah (PAN), anggota DPR dari Partai Demokrat, Adjie Massaid, Komar dan Angelina Sondakh (dikabarkan akan dicalonkan dalam pilkada Magelang).
Jumlah riil-nya masih banyak, tersebar ke sejumlah partai besar maupun kecil. Menjelang pelaksanaan pemilu, dipastikan sejumlah artis bakal kian berbondong-bondong memilih “lapak”-nya sendiri-sendiri. Beberapa nama yang kini digadang-gadang adalah Eko Patrio, Adrian Maulana, Tessa Kaunang, Maya Rumantir, Primus Yustisio (Cawali Subang), dll.
Keterlibatan para penghibur dalam pentas politik sah-sah saja. Terutama jika melihat hak dasar seorang artis sekaligus warga negara, sangat sah untuk tak sekedar memilih. Namun apabila terlalu banyak artis yang berpolitik, fenomena yang berubah menjadi kecenderungan ini patut dipertanyakan. Terutama apa dampaknya bagi atmosfer politik negeri ini.
Dengan segenap pesona yang dimiliki, artis memiliki keunggulan dibanding kompetitor biasa. Seorang artis kerap tampil di televisi dan selalu tampil baik dan menarik. Artis di televisi nyaris tanpa cela, cantik atau ganteng dan baik hati. Mereka tampil tak menarik hanya ketika disuruh mengomentari hal-hal serius, dimana kerupawanan wajah tampil sebagai pelengkap.
Di tengah ketidakpopuleran calon-calon pemimpin konvensional, bahkan status-quo yang identik KKN, publik sangat mudah mengalihkan dukungan ke calon-calon yang track-record politiknya tak jelas, namun cukup dikenal. Peluang inilah yang sangat menguntungkan bagi artis dan memuluskan jalan ke kursi politik tertentu.
Persoalannya, dan hal ini juga telah kerap dipersoalnya, bagaimana mengenai kapabilitas dan kualitas seorang artis itu sendiri, terutama setelah terpilih? Jangan-jangan, keterlibatan artis “lagi-lagi” sebagai pelengkap penggembira, pemanis pemandangan atau apapun namanya. Atau hal yang lebih mengerikan, para artis sebagai vote getter bermakna saat prosesi pemilihan saja, dan sesudahnya menjadi pajangan meski mendapat posisi prestisius.
Lebih-lebih, beberapa nama artis yang kini duduk di Senayan tak jelas kontribusinya, dan malah lebih sering bolak-balik tampil di infotainmen ketimbang dimintai pendapat saat segmen berita. Misalnya Adjie Massaid yang lebih disorot berita perceraiannya dengan penyanyi Reza, bahkan ketika diwawancarai media di kompleks Senayan.

Saling Memanfaatkan
Sorotan bahwa partai politik memanfaatkan popularitas artis pun mengemuka. Artis-artis itu mesin pendulang suara yang efektif yang tak memerlukan kampanye habis-habisan. Dan apabila tetap perlu mengadakan kampanye massif, toh para artis memiliki kemampuan logistik yang memadai, meski tak sekuat pengusaha.
Partai politik berkepentingan dengan jumlah suara dan mulai tak terlalu peduli siapa yang akan terpilih. Sepanjang para artis itu teruji mengumpulkan suara yang besar, parpol tak bakalan segan mendudukkan mereka hingga ke posisi tertinggi yang dimungkinkan.
Dalam hal ini, para artis itu terkesan menjadi korban atau dikorbankan. Hanya saja ketika ternyata sangat banyak dan mungkin terlalu banyak artis yang bersedia dikorbankan, kesan pada awal paragraf ini patut diuji kembali.
Sejumlah artis yang tampil ke politik tidak berada dalam peak performance, bahkan beberapa sudah pensiun. Rano Karno atau Dede Yusuf sudah jarang nongol di sinetron dan hanya sesekali sebagi bintang iklan. Beberapa nama yang tersebut dalam tulisan ini mulai mundur teratur sebagai selebriti dan hanya dikenal kembali setelah mempunyai kasus (cerai, kawin, selingkuh, rebutan anak, dsb) dan disorot habis-habisan oleh infotainmen.
Mereka tentu menyadari mulai tak terlalu “laku” lagi dalam jagad hiburan dan melihat bahwa politik adalah alternatif lain mempertahankan peri kehidupan atau life style yang setara artis. Ketika pintu kesempatan ini dibuka lebar-lebar oleh semua parpol, sedikit yang berani membuang peluang semacam ini.
Toh, politik tak menghalangi apalagi menghancurkan keartisan mereka. Apabila fase berpolitik usai dan sebagian mampu tampil lagi sebagai selebriti sesudahnya, program-program televisi tampaknya tak terganggu dengan track record artis mantan politisi.
Meskipun kapabilitas artis pantas dipertanyakan, mereka sama sekali tak selugu yang dikira, sehingga seakan-akan berpolitik tanpa reward atau dimanfaatkan tanpa benefit sedikit pun.

Benalu?
Maka, daripada mempersoalkan siapa memanfaatkan siapa, akan lebih berfaidah jika kita mempertanyakan niat dan tujuan artis itu sendiri dalam berpolitik Apabila semata-mata mencari penghidupan baru, kehadiran mereka dalam politik bukan saja pemanis panorama rapat atau sidang, melainkan benalu. Dan apabila politisi karbitan jenis ini kian banyak, bisa dibayangkan seperti apa kualitas parlemen kita.
Kehadiran artis di gedung pemerintahan, DPR atau DPRD, tidak sama lagi (katakanlah) ketika mereka mendampingi komentator sepakbola misalnya. Menjadi penguasa atau wakil rakyat sangat dituntut kemampuannya dalam mengartikulasikan aspirasi publik, kapabilitas penyampaian pendapat/debat sekaligus kualitas menyodorkan solusi-solusi cerdas. Berada di luar indikator ini siapapun (tak peduli artis ataupun bukan) berarti menjelma benalu politik.
Idealnya, seorang artis sekalipun ketika menapaki jalur politik harus melalui gemblengan parpol lebih dulu yang cukup lama dan intens (minimal sebagai anggota aktif). Artis-artis ini pun memiliki visi yang sama dengan parpol-parpol pilihannya dan tak asal memilih parpol. Dengan profil semacam ini (misalnya alm. Sophan Sopiaan di PDI-P atau Wanda Hamidah di PAN), kualitas politisi artis lebih terjamin daripada yang asal comot menjelang Pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar