Senin, 16 Februari 2009

Politik: ORANG MISKIN DILARANG “NYALEG”!

Joko Sumantri, Anggota PRP Komite Kota Solo


Evo Morales sebelum akhirnya terpilih sebagai presiden Bolivia adalah bujangan bersahaja tanpa rumah sendiri. Lelaki yang kerap memimpin demonstrasi jalanan ini tetap berpenampilan sederhana setelah menjadi presiden. Morales kerap memakai baju tradisional Bolivia dan tidak memperlihatkan diri sebagai pejabat tinggi yang necis atau berfasilitas supermewah laiknya seorang presiden.
Di belahan dunia lain, ada Lech Walesa mantan presiden Polandia pasca rejim komunis. Dia seorang buruh tukang las di sebuah pelabuhan. Karena aktivitasnya bertahun-tahun sebagai pemimpin buruh, Lech Walesa didapuk sebagai presiden. Hebatnya, setelah selesai menjabat jabatan tertinggi itu, Lech Walesa kembali ke pekerjaan lamanya sebagai buruh pelabuhan.
Evo Morales dan Lech Walesa beruntung hidup di dua negara tadi. Seandainya mereka tinggal dan hidup di Indonesia, mereka akan kesulitan menciptakan sejarah. Sebab “berkarir” dalam bidang politik di negeri ini tidak cukup dengan keyakinan, kerja keras maupun kesungguhan. Berpolitik di negeri ini memerlukan modal lain, yang akan sangat sulit dipenuhi oleh buruh berpenghasilan rendah atau bujangan tanpa rumah.
Beberapa hari kemarin, koran ini menyuguhkan kedegilan politik parpol peserta Pemilu, entah lama ataupun baru. Secara terbuka sejumlah parpol mematok “harga” bagi orang yang ingin menjadi caleg. Melalui kedok biaya pendaftaran hingga dana kampanye, parpol-parpol mensyaratkan setoran bacaleg mulai ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Rasanya sulit menalar “keterbukaan” ini. Sekedar hasrat menjadi anggota legislatif tingkat dua (kota/kabupaten) saja harganya sedemikian tinggi.
Kenyataan ini menjungkirbalikkan “aksioma” demokrasi mendudukkan setiap orang dalam posisi yang sama tanpa melihat SARA, jender maupun tingkat ekonomi. Partisipasi politik secara kasat mata memiliki saringan. Celakanya saringan ini bukan untuk memfilter calon-calon pemimpin unggul, melainkan saringan dengan standar kepemilikan modal berpolitik.
Jika “status-quo” ini tidak pernah diutak-atik, maka kita tidak akan pernah berkesempatan memiliki pemimpin bervisi kerakyatan seperti Evo Morales atau Lech Walesa yang sederhana. Terjunnya seseorang berpolitik tidak lagi dilandasi semangat membawa perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat, melainkan murni bisnis. Berpolitik seperti menanam investasi dimana suatu ketika modal harus kembali (break event point).

Hak si Miskin
Tabiat parpol di level daerah yang mematok harga pencalegan (yang sangat mungkin teridentifikasi pula di level lebih tinggi dan pasti jauh lebih besar nilainya) mencerminkan kesalahan sistemik politik kita. Alasan berpolitik membutuhkan modal (misalnya untuk kampanye) kurang berterima. Apabila politik Amerika yang liberal menjadi perbandingan, tetap saja calon-calon pemimpin di sana tidak mengandalkan dana pribadi, melainkan sumbangan dari banyak pihak.
Imbas pertama-tama dari fenomena ini adalah tertutup rapatnya pintu politik dari jangkauan si miskin, seperti kaum buruh, tani maupun kaum miskin lainnya. Padahal apabila mencerminkan tingkat keterwakilan yang murni, maka kaum miskin ini mestinya mampu mendudukkan wakilnya secara mayoritas di DPR dari level pusat hingga daerah. Alasannya sederhana: jumlah orang miskin jauh lebih besar daripada yang kaya/mampu.
Ketiadaan wakil kaum miskin dalam berpolitik menyebabkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pernah menguntungkan kelompok miskin seperti yang selama ini berlangsung. Secara permanen, kita akan selalu disuguhi drama penolakan-penolakan spartan kaum miskin terhadap kebijakan yang tidak memihak mereka.
Sebaliknya, politik beraroma uang mengundang para pemodal seperti pengusaha, politisi lama hingga artis untuk maju dan bertarung mewakili partai apapun. Sebab hanya merekalah yang mampu “membeli” tiket untuk bertarung dalam pemilu/pilkada. Begitulah yang kemudian terjadi.
Fenomena ini bukannya tanpa resiko. Ketika mereka yang berpunya ini terpilih sebagai pemimpin, hal utama yang mereka kerjakan dan pikirkan adalah mengembalikan modal yang sudah ditanamkan. Di samping itu, pemimpin dengan profil seperti ini rawan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya sendiri dan meninggalkan aspirasi masyarakat.

Penuh Ujian
Tulisan ini bukannya mengaksiomakan bahwa ketika si miskin menjadi pemimpin lalu otomatis memiliki kepedulian tinggi pada golongan miskin. Banyak kasus (terutama pada saat Pemilu 1999) dimana sejumlah orang yang tidak tergolong mampu ternyata dapat menjadi anggota legislatif. Namun toh, perilaku mereka “sami mawon” atau setidaknya kurang mewakili aspirasi kaum miskin.
Latar belakang ekonomi seseorang memang tidak langsung menjamin kredibiltasnya ketika memimpin. Oleh karenanya, bukan soal seseorang memiliki uang atau tidak yang disortir menjadi pemimpin. Melainkan sebuah skema/sistem yang mampu memberikan kesempatan kepada siapapun untuk maju dan bertarung dalam berpolitik. Yang terjadi kemudian adalah adu visi dan strategi dalam merangkul suara masyarakat.
Ujian semacam ini berlangsung di tubuh tiap-tiap parpol itu sendiri. Parpol bertanggung jawab melahirkan kader-kader sekaligus calon pemimpin yang akan dinilai masyarakat kapabilitasnya. Keberhasilan sebuah parpol, maka, salah satunya ditentukan dari kemampuannya dalam merekrut kader dan membinanya. Parpol berarti mesin pendulang suara sekaligus pencetak calon pemimpin.
Di dalam parpol itu sendiri terdapat dinamika kerja dan kegiatan yang menjamin kemunculan sejumlah kader mumpuni. Parpol tidak sekedar lembaga politik yang hadir dan berwujud manakala pemilu/pilkada. Parpol laiknya gunung berapi yang terlihat diam, tetapi sebenarnya penuh riak, yang manifes ketika meletus.
Dalam mekanisme semacam ini, setiap orang memiliki kesempatan sama untuk berkiprah dalam politik. Orang miskin atau kaya, lelaki atau perempuan berada dalam takaran yang seimbang dan terbuka untuk bersaing memperlihatkan semangat, kesetiaan ideologi, kemampuan dan integritasnya.
Ketika parpol justru mempersilahkan orang luar menjadi caleg, terutama dipilih dari seberapa besar disumbang untuk partai, maka hancurlah skema partai sebagai mesin pencetak kader. Parpol lantas menjelma sebagai lembaga pengusung caleg belaka. Tak ubahnya event organizer atau bahkan makelar politik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar