Senin, 16 Februari 2009

Artikel: Buruh Jateng Melawan Kebijakan Rejim

Oleh: Joko Sumantri
Anggota Serikat Buruh Solo Raya – Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (SBSR-KASBI)


Di balik kenyataan pahit keputusan rejim menaikkan harga BBM, optimisme menyembul bahwa rakyat belum kehilangan semangat juang guna memperjuangkan hak-haknya. Hal ini terlihat dari perlawanan spartan seluruh elemen rakyat menolak kenaikan harga BBM sepanjang bulan Mei hingga awal Juni 2008 ini. Di Jawa Tengah, peta gerakan mendadak hidup, bahkan hingga ke daerah-daerah yang selama ini jarang terdengar ada demo.
Di ibukota Jawa Tengah, Semarang, sejumlah elemen dengan gigih mendatangi tempat-tempat publik, terutama kantor gubernuran, berulang kali, bahkan sempat menimbulkan insiden kecil. Setidaknya ada empat kelompok yang tercatat: Pertama, Front Rakyat Menggugat (GMNI, PMII, KAMMI, sejumlah LSM), Komite Mahasiswa Semarang (KAMAS), Forum BEM dan Front Pembebasan Nasional (FPN) yang mempertemukan kelompok buruh, FSBI-KASBI, GMKI, SMI, dll.
Di Solo yang juga memiliki tradisi perlawanan yang keras terhadap kebijakan yang merugikan rakyat, memunculkan sejumlah kelompok, yakni AMUK Rakyat (LSM Yaphi dan elemen mahasiswa hampir dari semua kampus yang ada di Solo), Aliansi Rakyat Menggugat (kumpulan LSM), Forum BEM dan FPN (SBSR-KASBI, PRP, GMKI, PMKRI, GMNI).
Representasi pergerakan lain di Jateng adalah Purwokerto (dengan ukuran keberadaan kampus negeri). Di kota ini lahir Aliansi Perjuangan Rakyat, terdiri dari Barisan Muda Indonesia, Barisan Muda Penegak Amanat Nasional, Pemuda Demokrat, dan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Jenderal Soedirman, yang sempat menyelenggarakan aksi dengan jumlah massa ratusan orang.
Yang paling menarik adalah “riak-riak” demonstrasi yang melanda hampir seluruh kota yang ada di Jateng. Di Cilacap ada Front Mahasiswa Cilacap yang sempat menggelar demo di depan Kompleks Kilang Minyak milik Pertamina Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap, Kamis (15/5). Lalu di Kebumen terdapat Aksi Massa Pro Rakyat (AMPERA), antara lain terdiri dari organisasi PMII dan Serikat Masyarakat Pinggiran (Semapi).
Riak-riak lain (yang sempat Penulis saksikan melalui televisi) terdapat di Jepara, Temanggung, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Tegal dan daerah-daerah lainnya. Jumlah massa pendemo memang tidak besar dan hanya berkisar puluhan orang. Namun munculnya demo-demo penolakan kenaikan BBM yang merata di semua tempat di Jateng mengindikasikan persoalan yang nyata dan sama dihadapi seluruh rakyat negeri ini.
Sebegitu jauh, terdapat evaluasi penting atas gelombang perlawanan kenaikan BBM. Pertama, protes kenaikan BBM identik dengan mahasiswa. Nyaris semua demo didominasi wajah-wajah muda mahasiswa, sementara elemen rakyat (buruh-tani) sekedar pelengkap dan supaya terkesan legitimatif. Kedua, putusnya komunikasi antar organ perlawanan antar kota, bahkan dalam satu kota bisa terdapat bermacam-macam elemen dan kelompok.
Dua karakter perlawanan ini sedikit banyak yang membuat upaya penolakan kenaikan BBM tidak efektif. Selain tidak mampu memobilisasi jumlah massa secara besar-besaran (berhadapan dengan isu yang sedemikian besar), kekompakan perlawanan hanya dihubungkan oleh pemberitaan di media massa, terutama televisi.
Bahkan ada tudingan bahwa keaktivan kelompok mahasiswa di daerah-daerah pelosok sekalipun unjuk diri atau yang dikenal dalam istilah “eksistensialis”. Para mahasiswa ini yang melek informasi tergugah dan terdorong melakukan aksi semata-mata karena tidak mau kalah dari mahasiswa kota-kota lain yang kerap diberitakan di televisi menyelenggarakan aksi, termasuk aksi anarkisme-nya yang menjalar.

Identik Mahasiswa
Identifikasi penting perlawanan kenaikan harga BBM adalah dominasi kelompok mahasiswa, sehingga nyaris bisa dikatakan gerakan penolakan harga BBM adalah potret gerakan mahasiswa saat ini. Keterlibatan penuh mahasiswa di satu sisi disyukuri karena berarti radikalisme mahasiswa masih bisa diharapkan. Tapi di sisi lain, isu kenaikan harga BBM seakan-akan menjadi milik gerakan mahasiswa.
Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya kelompok mahasiswa malahan tidak terimbas langsung dari efek kenaikan BBM. Mahasiswa saat ini umumnya berasal dari kelompok mampu dan terkonsentrasi di kampus-kampus negeri. Kenaikan BBM pada dasarnya kurang mempengaruhi “kesejahteraan” mahasiswa, karena toh mereka tinggal mengajukan “proposal” kenaikan uang kiriman orang tua.
Keaktifan mereka dalam gelombang perlawanan, maka, tidak lain dari sikap solidaritas, kepedulian atau altruisme belaka, dan bukan perlawanan sesungguhnya (katakanlah dibandingkan buruh yang menuntut kenaikan upah). Sekali lagi, mahasiswa tidak terkena imbas naiknya harga BBM sedahsyat buruh dan petani. Sehingga alasan penting keterlibatan mereka dalam aksi semata-mata karena ketrenyuhan melihat nasib rakyat.
Keidentikan aksi anti BBM naik dengan mahasiswa melahirkan fenomena negatif. Pertama, perlawanan kurang mampu memobilisasi massa besar karena jumlah mahasiswa tetaplah sedikit dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Kedua, keengganan kelompok masyarakat melakukan protes serupa dikarenakan kesan “elitisasi” isu (hanya mahasiswa). Ketiga, sejumlah kalangan rakyat protes mereka sudah terwakili oleh demo-demo mahasiswa. Keempat, semangat perlawanan mahasiswa toh ada batasnya, seperti menghadapi ujian atau sekedar pulang kampung.
Kejumudan di atas mesti terpecahkan ketika kebijakan serupa ini akan tampil lagi di masa-masa yang akan datang (kenaikan BBM kemarin bukan terakhir kali, kata wapres Yusuf Kalla). Pertama, dengan mendorong mahasiswa giat mengajak elemen rakyat supaya ikut serta dalam demo-demo penolakan kenaikan harga BBM. Kedua, kelompok-kelompok buruh-tani sendiri mesti melihat bahwa persoalan kenaikan harga BBM merupakan hal pokok yang sama-sama harus diperjuangkan penolakannya.
Yang paling diharapkan di antara elemen-elemen rakyat lainnya adalah buruh. Mereka memiliki jumlah massa tak terbatas, terutama di kantong-kantong industri (Semarang, Solo, Salatiga). Harus ada injeksi kesadaran bahwa isu naiknya BBM pun isu kaum buruh dan tak sekedar persoalan-persoalan yang langsung mereka hadapi (upah, kontrak.outsourcing, hak-hak normatif). Kegairahan penolakan kenaikan BBM mestinya setara sebagaimana halnya ketika buruh hendak memperingati Mayday.
Selain KASBI yang all-out melakukan penolakan kenaikan BBM baik di pusat maupun di daerah-daerah, kita belum melihat semangat yang sama di kelompok buruh lainnya, yang sebenarnya memiliki jumlah massa lebih besar. Paling jauh pimpinan serikat-serikat buruh di maksud hanya berkomentar di koran, yang efeknya tidak bakal dirasakan dan dinilai sebagai gerundelan belaka.
Masalah mendasar lainnya adalah inter-relasi gerakan perlawanan, minimal dalam skala Jawa Tengah (sebelum membayangkan persatuan gerakan nasional). Inter-relasi ini bisa dibagi antar organ perlawanan, antar aliansi maupun antar kota. Gerakan di Jawa Tengah masih menganut “spartanisme”, yang berarti bentuk perlawanan yang tidak teratur, tidak terkoordinasi dan terpecah-pecah. Perlawanan jenis ini, apalagi mengandalkan massa yang kecil, mudah dipatahkan dan tidak efektif memaksakan tuntutan dipenuhi rejim.
Bukan saja dalam skala provinsi, dalam satu kota sendiri bisa terdapat berbagai elemen yang berlawan sendiri-sendiri, bahkan dalam satu saat (mengejar momentum). Demo terlihat bagai permainan kanak-kanak ketika elemen-elemen dengan satu tuntutan ini bertemu di lapangan. Hal ini jamak terjadi di Semarang dan Solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar