Senin, 16 Februari 2009

Artikel: Menimbang Besaran UMK

Rudy Hantoro, mantan Sekjen BEM UGM Yogyakarta, kini tinggal di Solo


Koran ini menyampaikan “kabar” yang lumayan menggembirakan, yakni bahwa Upah Minimum Kota (UMK) untuk Semarang dan Surakarta mencapai angka sama dengan angka KHL (Kebutuhan Hidup Layak). UMK tahun 2008 sekaligus KHL masing-masing untuk Semarang adalah Rp. 715.700,00, dan kota Surakarta, Rp. 674.300,00. Sedangkan UMK kota/kabupaten lain masih berada di bawah nilai KHL masing-masing.
Telah lama menjadi tradisi bahwa nilai UMK selalu berbeda dengan KHL. Meskipun ditetapkan oleh lembaga yang sama-sama formal dan diakui keberadaannya oleh pemerintah (Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dan Dewan Pengupahan Provinsi), besaran UMK selalu di bawah angka KHL. Karena itu, sesuatu yang mengejutkan bahwa penyesuaian UMK dengan KHL akhirnya benar-benar terjadi dan tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi.
Menurut Gubernur Jawa Tengah, bahkan, keseluruhan kenaikan UMK di semua kota/kabupaten provinsi ini melampaui angka inflasi. Rata-rata kenaikan UMK mencapai 9,62% dan proporsi terhadap KHL menyentuh 90,10%. Gambaran ini sepintas terlihat sebagai angin segar bagi kaum buruh dalam memperbaiki kesejahteraannya.
Namun ternyata, ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Semarang Nanang Setiyono, besaran UMK yang ditetapkan gubernur belum bias memnuhi kebutuhan hidup buruh secara riil. Mereka pun berniat akan menadakan aksi penolakan terhadap SK Gubernur (Harian Joglosemar, 21 November 2007). Hal ini menyajikan keanehan sekaligus pertanyaan, “apa lagi sebenarnya yang dimaui oleh kaum buruh?”

Tak Otomatis Sejahtera
Meskipun UMK telah disesuaikan KHL, tidak otomatis kaum buruh di kota Semarang dan Surakarta mencapai makna ksejahteraan sesungguhnya. Upah dengan kisaran Rp 700.000,00/bulan sesungguhnya tetaplah sulit bagi seorang buruh untuk mewujudkan kehidupan berkualitas. Di tengah harga-harga kebutuhan yang terus meningkat, nilai Rp. 700-an ribu nyaris kurang bermakna apa-apa.
Sebagai catatan awal, yang disebut sebagai KHL adalah survey Dewan Pengupahan Kota di waktu yang sudah lewat. Artinya nilai KHL kemarin (katakanlah sepanjang tahun 2007) ditetapkan untuk tahun sesudahnya (2008). Tentu saja KHL riil pada 2008 sudah mengalami perubahan, baik oleh inflasi maupun faktor-faktor lain (misalnya ancaman kenaikan BBM internasional yang semakin tak terkendali).
Konsep KHL sendiri bukan bermakna “layak” dalam pengertian sesungguhnya. KHL 2008 mencakup 46 item kebutuhan reguler yang didasarkan pada harga yang murah, bahkan paling murah. Artinya, meskipun telah diistilahkan sebagai bisa hidup layak, pada kenyataannya adalah layak dalam pengertian seadanya.
Di samping itu, nilai KHL sebenarnya berdasarkan kebutuhan hidup untuk buruh laki-laki lajang. Dengan demikian, penetapan UMK mengabaikan posisi dan kondisi buruh perempuan yang berbeda kebutuhannya (dengan buruh laki-laki) maupun buruh berkeluarga yang masih harus menanggung kebutuhan rumah tangga (seperti biaya pendidikan dan kesehatan anak).
Kelayakan upah buruh sebenarnya juga harus diperbandingkan dengan beban kerjanya. Buruh bekerja selama 8 jam sehari, belum termasuk kerja lembur dengan sedikit toleransi adanya keterlambatan masuk kerja. Membolos tentu tidak diperbolehkan dan berbuntut pada pengurangan upah. Kerja seorang buruh pabrik kiranya relatif lebih berat dibandingkan pekerjaan lain.
Ironisnya, jika dibandingkan dengan pendapatan jenis pekerjaan lain, UMK sesuai KHL sekalipun masih terkesan minimal (apalagi dibandingkan dengan gaji PNS!). Sehingga bila tersedia jenis pekerjaan lain, pilihan menjadi buruh tentu dikesampingkan oleh siapapun.
Kenyataan lain yang patut diperhatikan bersama, tingkat kepatuhan pengusaha atas nilai UMK pekerja yang ditetapkan pemerintah tidak seragam dan tidak serta-merta. Cukup banyak kasus pelangaran oleh pihak pengusaha dengan tetap memberikan upah di bawah UMK. Namun dikarenakan posisi pengusaha yang lebih kuat, acapkali ketidakpatuhan ini dibiarkan atau tidak tertangani.
Selain itu, UMK sebenarnya hanya dikenakan untuk pekerja di bawah masa kerja 1 tahun. Di lapangan, UMK ternyata diterapkan untuk seluruh pekerja dengan masa kerja selama apapun. Biasanya memang upah pekerja lama lebih tinggi, tapi dalam jumlah sangat sedikit, hanya untuk memenuhi ketentuan legal-formal.
Maka, pantas dipahami bilamana masih ada suara-suara penolakan atas nilai UMK, meskipun telah setara dengan KHL.

Dimurahkan
Kenapa upah pekerja sejauh ini masih rendah disebabkan warisan kebijakan orde baru. Ini bertemali dengan kebijakan pemerintah yang suka menekan kenaikan harga produk pertanian. Supaya buruh mampu membeli beras, maka harga beras pun harus dibuat murah, kalau perlu impor. Kondisi ini merupakan rangkaian sebab-akibat yang menyebabkan mayoritas buruh dan petani jauh dari kehidupan yang sejahtera.
Buruh memang dikorbankan demi mendatangkan investasi. Untuk mengundang investor, khususnya dari negara asing, upah buruh ditekan. Padahal kehadiran investasi asing tidak semata-mata karena upah buruh yang murah. Jika upah buruh menjadi satu-satunya instrumen, investasi asing tentu akan hadir berbondong-bondong. Nyatanya tidak. Bahkan satu demi satu pabrikan asing hengkang dan memilih tempat berusaha di negara Asia Tenggara yang lain.
Secara logika sekalipun, seandainya banyak investor hadir karena upah buruh yang selalu diupayakan murah, berarti buruh sendiri tidak akan pernah merasakan hasil dari kehadiran investasi asing.
Di luar efek kebijakan pengupahan secara ekonomis, bagi masyarakat, pembiasaan atas upah murah bagi yang bekerja sebagai buruh menumbuhkan anggapan bahwa kerja fisik memang harus dibayar murah. Bekerja sebagai buruh pun diremehkan karena dianggap tidak memerlukan ketrampilan dan pendidikan tinggi.
Secara sosiologis, kita pun seperti diajari untuk menyepelekan pekerjaan fisik dan sekuat tenaga meraih pekerjaan yang sedikit mengeluarkan tenaga namun justru berpenghasilan lebih besar. Makna kerja keras menjadi terdistorsi. Kerja keras dimaknai sebagai cara meraih sebuah pekerjaan, bukan pada saat mulai bekerja.
Tak heran jika berjubelan generasi muda meminang pekerjaan di kantor-kantor pemerintah, namun setelah diterima, mereka bekerja seenaknya sendiri. Apa yang disebut etos kerja sebagai prasyarat kemajuan bangsa, raib begitu saja. Etos kerja diidealisasi, namun praktek di lapangan terjadi ketimpangan beban kerja antara yang bekerja keras namun bergaji kecil dan sebaliknya, pekerjaan ringan justru dibayar mahal.
Kondisi pekerja yang tidak sejahtera inilah yang kiranya akar dari berbagai persoalan bangsa ini. Para petani jelas tidak bisa menaikkan harga komoditas pertaniannya dihadapkan pada upah murah kaum pekerja yang berjumlah puluhan juta orang (ditambah puluhan juta lain orang yang bergantung pada kerja buruh, seperti anak, istri/suami buruh) di kota-kota.
Kemampuan produksi kita semakin berkurang dan kian tergeser oleh negara-negara lain. Industri kurang berkembang oleh keabaian dan kelenaan pemerintah memperbaiki iklim usaha di luar penekanan sistematis terhadap upah buruh. Sementara mereka yang ogah bekerja sebagai buruh, memilih menjadi pedagang kaki lima atau terbang ke negara lain sebagai TKI dan TKW dimana persoalan tak kalah krusialnya telah menunggu.
Jika situasi kebangsaan Indonesia ingin diperbaiki, tak salah kiranya jika langkah paling awal adalah dengan mendorong kesejahteraan kaum pekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar