Senin, 16 Februari 2009

Artikel: Peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2008

Oleh: JOKO SUMANTRI
Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Surakarta dan aktivis Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Solo Raya


Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau Mayday. Di negara-negara maju atau negara berorientasi kiri, Mayday merupakan hari kemenangan buruh, diliburkan dan diperingati besar-besaran. Di Indonesia, Mayday tidak halnya. Mayday belum sampai pada tahap dirayakan sebagai hari kemenangan buruh. Meskipun tetap hari istimewa oleh kaum buruh pasca 1998, 1 Mei tidak diliburkan dan kurang diapresiasi oleh pemimpin politik negeri ini.
1 Mei kian istimewa karena saat inilah gerakan buruh menunjukkan kekuatan sebenarnya. Dipastikan di tiap kota di mana terdapat elemen buruh, mereka bakal turun ke jalan dengan antusias. Melalui momentum ini, buruh menyampaikan tuntutan-tuntutannya.
Sejumlah isu perburuhan utama masih berkisar persoalan upah yang memang jauh dari kata memadai. Di kota/kabupaten se-Jawa Tengah, upah minimum kota/kabupaten hanya Rp. 500-600 ribu per bulan. Ada dua kota yang dianggap menyamai kebutuhan hidup layak (KHL), yakni Solo dan Semarang. Lainnya masih berada di bawah KHL.
Meskipun ada trend UMK yang hendak menyamai KHL, buruh tetap tidak terlalu senang. Sebab “hidup layak” dalam akronim KHL tidak mencerminkan kebutuhan sebenarnya. Ukuran-ukuran yang digunakan terbatas dan kurang mencakup seluruh aspek kebutuhan manusia. Kualitas kebutuhan pun direndahkan supaya murah, plus dengan standar harga yang telah lewat (harga kebutuhan saat ini untuk dasar kenaikan KHL tahun berikutnya).
Isu lain yang tidak kalah hangat adalah buruh kontrak dan outsourcing. Mekanisme ini menjadikan buruh hanya bekerja dalam masa kontrak (bukan karyawan tetap) yang hak-haknya banyak terlucuti. Outsourcing memantapkan proses pelemahan kekuatan buruh dimana perusahaan mengandalkan perusahaan jasa penyedia tenaga kerja dan merasa tidak punya tanggung jawab terhadap buruh yang dipekerjakan.
Gejala ini merupakan bagian dari apa yang diistilahkan Labour Market Flexibility (LMF). Kebijakan ini berharap mampu menyediakan lapangan kerja dimana proses perekrutan tenaga kerja sekaligus pemutusan hubungan kerja (PHK) mudah dilakukan. Namun LMF justru merupakan horor bagi yang telah bekerja, berada dalam ketidaktenangan karena sewaktu-waktu bisa putus kontrak atau dipecat. Di samping mekanisme LMF memberi amunisi bagi pengusaha untuk tidak memenuhi hak-hak normatif buruh.
Sejauh isu-isu ini tidak terselesaikan, buruh akan terus melakukan demonstrasi yang dipusatkan pada peringatan Hari Buruh Sedunia tiap tanggal 1 Mei atau tiap-tiap ada kebijakan yang tidak memihak buruh.

Pilgub Jateng
Peringatan Hari Buruh tahun ini kian istimewa karena Jawa Tengah hendak menyelenggarakan pemilihan gubernur pertama kali pada 22 Juni 2008. Pergerakan buruh di Jawa Tengah tentu tak bakalan lepas dari amatan para cagub dan cawagub yang akan bertarung nantinya.
Suara dari kaum buruh jelas sangat besar dan lumbung suara yang tak bisa diabaikan. Jutaan suara dikantongi oleh buruh dan sangat menentukan perolehan suara dalam Pilgub. Jika dihitung dengan keluarga (istri, saudara dan anak), suara dari kaum buruh kian menggelembung.
Yang disebut buruh tentu bukan hanya mereka yang bekerja di pabrik dan terdaftar secara legal-formal. Sebutkan buruh dilekatkan pada siapapun yang menyediakan tenaga dan ketrampilan kepada pihak lain (pengusaha/pemodal) dan mendapatkan imbalan dari tugas dan pekerjaannya. Kategori ini berarti mencakup buruh pabrikan, PRT, petani penggarap, nelayan kecil, pekerja bangunan, dan sebagainya.
Di negara-negara maju, suara buruh sangat disegani dan memiliki saluran politik tersendiri (partai). Partai-partai buruh ini bahkan kerap berkuasa dan memerintah. Sementara di Indonesia, sudah ada (beberapa) partai buruh namun sangat kecil dan tidak diperhitungkan keberadaannya. Partai buruh yang ada pada dasarnya memang bukan perwujudan dari keinginan buruh, melainkan “jadi-jadian” dari personal yang mengatasnamakan buruh.
Buruh sebagai konsituen politik berada dalam posisi mengambang (floating mass). Tidak ada ikatan politik terhadap parpol tertentu. Keputusan memilih partai atau calon dalam pemilu sebatas keputusan pribadi, like and dislike, atau bahkan menurut “aliranisme politik” buruh secara personal. Keambangan pilihan ini didukung tidak ada partai politik yang secara tegas memiliki keberpihakkan pada kepentingan buruh.
Dalam konteks Pilgub tentu ada nuansa berbeda. Kapasitas pribadi cagub dan cawagub lebih menentukan ketimbang partai politik pengusungnya. Integritas pribadi cagub dan cawagub bakal lebih disorot, dimana track record mereka merupakan ukurannya. Peristiwa kemenangan cagub dan cawagub yang kurang terduga di Jawa Barat dan Sumatera Utara adalah contohnya.
Para cagub dan cawagub mesti bekerja keras meyakinkan buruh untuk memilih salah satu dari mereka. Buruh kenyang pengalaman terhadap janji-janji dalam kampanye, yang kerap diingkari ketimbang dipenuhi. Semanis apapun janji kampanye yang ditawarkan akan disikapi dengan sangat hati-hati.
Kecenderungan utamanya justru bukan pada siapa yang akan dipilih buruh, tetapi apakah para buruh sendiri punya kemauan untuk memilih atau malah menjadi golput. Sebab bagi buruh, proses politik yang ada (dari pilpres sampai pilbup) nyatanya kurang memberi andil bagi perbaikan kesejahteraan mereka. Bahkan janji-janji kampanye yang tak langsung menyentuh kepentingan buruh (pendidikan dan kesehatan gratis) realisasinya tidak ada ketika si kandidat akhirnya terpilih.
Pilgub Jateng, untungnya, yang pertama kali ada sehingga belum ada ukuran memadai menilai masing-masing cagub/cawagub. Namun bukan berarti rayuan mudah disampaikan, mengingat buruh belajar dari pengalaman maupun informasi di daerah lain melalui media massa.

Sikap Cagub

Buruh butuh penjelasan dan sikap para cagub terhadap persoalan-persoalan di seputar mereka dan tidak sekedar lontaran janji-janji normatif yang tidak jelas aplikasinya. Pertama-tama, buruh memerlukan sikap para cagub cagub dalam memandang upah layak bagi buruh maupun isu mengenai buruh kontrak dan outsourcing.
Seandainya seorang gubernur tidak memiliki kewenangan lebih (karena ada UU yang mengaturnya), apa langkah-langkah yang mungkin dapat ditempuh guna mengurangi beban hidup buruh? Sanggupkah, misalnya, gubernur terpilih menyediakan beasiswa bagi anak keluarga buruh yang melanjutkan pendidikan? Atau menjamin pelayanan kesehatan bagi buruh bisa benar-benar murah, bahkan gratis.
Selamat Hari Buruh!

1 komentar: